Senin, 24 Mei 2010

Stasion KA Tanjung Priok 1910















Inilah Stasion Kereta Api Tanjung Priok yang diabadikan pada 1910. Pembangunannya hampir bersamaan dengan dibukanya pelabuhan Tanjung Priok (1885) menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Pelabuhan yang belakangan ini sudah tidak dapat lagi menampung kapal-kapal samudera akibat lumpur yang mengendap di muara Ciliwung. Untuk jaringan perhubungan dengan Batavia, dibuatlah jalan kereta api yang menghubungkan Tanjung Priok – Jakarta Kota yang merupakan pusat perkantoran dan bisnis.
Di sekitar stasion kereta api lama, seperti terlihat dalam foto terdapat sejumlah perusahaan, yang kini sudah berubah fungsi menjadi terminal. Karena kegiatan bongkar muat yang makin meningkat, maka dibangunlah stasion KA baru pada 6 April 1925 yang hingga kini gedungnya masih tampak megah, sekalipun kegiatan perkeretaapian di stasion ini sudah terhenti. Pembukaan stasion baru itu, bersamaan dengan penggunaan pertama jalur kereta api listrik dari Meester Cornelis (Jatinegara) ke Tanjung Priok.
Ketika pemancangan tiang pertama stasion KA Tanjung Priok diadakan upacara penanaman dua kepala kerbau dengan pembacaan doa oleh kyai setempat. Sedangkan dagingnya dijadikan santapan kenduri oleh para pegawai. Kala itu bahkan hingga kini ada yang berpendapat bahwa ‘penanaman kepala kerbau’ saat membangun jembatan dan gedung merupakan suatu kemoestian.
Stasion KA Tanjung Priok merupakan stasion pertama yang monomental di Batavia dengan delapan jalur, yang kala itu melebihi stasion Beos di Jakarta Kota. Stasion Tanjung Priok yang dibangun oleh Holland Beton Maatchappij didatangi kereta dari berbagai jurusan. Dahulu, warga Eropa yang baru tiba di pelabuhan Tanjung Priok langsung naik kereta api menuju Weltevreden (Pasar Baru dan Senen) serta Meester Cornelis. Apabila kapal mendarat pada malam hari, mereka menginap di sebuah hotel yang merupakan bagian dari stasion.
Sampai 1960′an para pendatang dari daerah-daerah ke Jakarta umumnya mengunjungi pusat kota naik KA dari stasion Priok.Salah satu tempat hiburan di Priok adalah pantai Zandvoord (orang menyebutnya Sampur). Pantainya yang bening dan belum kena polusi, di hari-hari liburan banyak dikunjungi berbagai lapisan masyarakat. Mereka umumnya datang naik KA.
oleh : Alwi Shahab

Menyelusuri Ulama-ulama Betawi

Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.

Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Alhabsyi, putera Habib Muhammad Alhabsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Alhazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Alhamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Alhamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Perjuanjgannya kemudiann diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB.
Keluarga Jamalullain termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluiarga Jamalulail. Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi jurudakwah yang handal. Mereka telah memelopori berdirinya surau-surau di Jakarta yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggbunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri.
Kanak-kanak yang mendengar beduk bergembira, lalu belarian ke jalan raya sambil bernyanyi. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui beduk. Akibatnya, seringkali lebaran dirayakan dalam waktu berbeda. Guru Mansyur memahami hal ini. Karena itu, ia memperdalam ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab.
Dalam adat Betawi, guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Ia menguasai kitab-kitab agama dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas guru ada dato’. Dia menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah guru ada mualim. Di bawah mualim adalah ustadz, pengajar pemula agama. Di bawah ustadz ada guru ngaji, yang mengajar anak-anak untuk mengenalk huruf Arab.
oleh : Alwi Shahab

Mester-Condet-Cililitan

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa nama Jatinegara, sebuah kecamatan di Jakarta Timur, baru muncul pada tahun 1942. Yakni, pada awal masa pendudukan Jepang sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.

Nama Jatinegara ‘negara sejati’ sebetulnya sudah dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jakatra. Saat pangeran dan pengikutnya hengkang dari Sunda Kelapa dan keratonnya dihancurkan Belanda, sambil bersumpah untuk memerangi VOC, mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama Jatinegara Kaum, di Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Jepang, pada saat bersamaan, juga merubah nama Batavia menjadi Jakarta, dari kata Jayakarta. Naman ini juga telah dipopulerkan Fatahillah, ketika ia dan balatentaranya mengusir pasukan Portugis dari Teluk Jakarta (22 Juni 1527).

Sebutan Meester Cornelis sendiri mulai muncul ke pentas sejarah kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17 bersamaan dengan diberikannya izin pembukaan hutan di kawasan itu pada Cornelis Senen oleh VOC. Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen dari Lontor, Pulau Banda.

Ketika tanah tumpah darahnya dikuasai kompeni (1621), Cornelis mulai bermukim di Batavia. Dia dikenal mampu berkhotbah, baik dalam bahasa Melayu maupun Portugis (Kreol). Sebagai guru ia biasa dipanggil meester yang berarti tuan guru. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan Meester Cornelis, yang oleh pribumi biasa disingkat mester.

Hingga sekarang masih banyak warga menyebut mester untuk Jatinegara atau Kampung Melayu. Termasuk para pengemudi angkot dan bus kota. Meester Cornelis dahulu merupakan kawasan yang berdiri sendiri dan tidak dalam pemerintahan Batavia.

Dari Jatinegara, setelah melalui Cawang (berasal nama seorang kapten Melayu encik Awang), bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim di kawasan yang sekarang dikenal dengan Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.

Menurut Rachmat Ruchiat, mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Museum DKI, pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir masyarakat, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sa’irin alias Bapak Cangok. Sa’irin dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang (1924). Di samping itu, dia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet (1916).

Dari Cawang, kita menuju ke kawasan Condet. Di Condet Raya, yang jalan rayanya dua arah, kemacetannya sudah tidak ketolongan lagi. Semua pihak menganggap jalan yang sempit ini perlu diperlebar. Disamping mobil dan ribuan kendaraan beroda dua, jalan ini makin macet dengan beroperasinya metro-mini, yang berhenti seenaknya.

Di Condet, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, terdapat kelurahan Batuampar. Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut, sebagaimana diceritakan oleh orang-orang tua di Condet kepada Ram Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet.

Pada jaman dulu, ada seorang suami istri bernama Pangeran Geger dan Nyai Polongan, yang memiliki beberapa orang anak. Salah seorang puterinya, Siti Maimunah, sangat kesohor kecantikannya. Ia memiliki hidung mancung serudung, rambut mayang terurai, pipih bak pauh dilayang. Konon, kalau Siti Maimunah minum, airnya terlihat ditenggorannya. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara dari Makassar, untuk dijodohkan dengan salah seorang putranya, Pangeran Astawana.

Maemunah bersedia diperistri dengan permintaan supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersantai di atas empang dekat Kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu disanggupi, dan ternyata terbukti. Menurut sahibul hikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di atas empang di pinggir Kali Ciliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari batu dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara.

Menurut hikayat, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu disebut Bale Kambang (balai yang mengambang diatas air). Maka jadilah nama Balekambang. Kawasan Cililitan dulu terbentang dari Kali Ciliwung di sebelah barat, sampai Kali Cipinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan Kampung Makassar dan Condet. Di utara berbatasan dengan Cawang. Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Cipinang. Sekarang ini, anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya. Kata ‘Ci’ adalah bahasa Sunda, mengandung arti sungai. ”Lilitan” lengkapnya ‘lilitan kuru’, adalah nama sejenis tanaman perdu.

Kembali ke kawasan Kramatjati, tempat yang terletak antara kantor kecamatan dan kantor polisi ressort Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan raya Bogor ke TMII terus ke Pondok Gede, dikenal dengan nama Hek. Rupanya nama ini berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda-Indonesia, kata hek berarti pagar. Tetapi hek juga berarti pintu pagar.

Dari seorang penduduk setempat yang berusia lanjut, bahwa di tempat tersebut dulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung-ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar, dan bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar-masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Barisan Pemadam Kebakaran dan Kompleks Polisi Resor Kramatjati.

oleh : Alwi Shahab

Di Simpang Tiga Meester Cornelis


Foto ini dipersimpangan jalan Meester Cornelis (kini Jatinegara), akhir abad ke-19. Mungkin saat itu sang fotografer berdiri di sekitar Lapangan Urip Sumohardjo, Jatinegara di perbatasan Matraman-Jatinegara. Di sebelah kiri simpang tiga Meester Cornelis dengan pepohonan lebat di kiri-kanannya jalan raya menuju jurusan Cipinang, Bekasi, Karawang, Cirebon, dan terus ke Jawa Timur. Jalan ini dibangun gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan rampung 1809. Jalan dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jatim) panjangnya 1.000 km.
Di sebelah kanan jalan raya menuju Kampung Melayu, Cawang, Buitenzorg (Bogor), Puncak, Bandung dan terus ke daerah Priangan. Jalan Daendels ke arah selatan ini pembangunannya lebih berat kala itu lebih banyak gunakan tenaga manusia karena melalui daerah pegunungan. Di sebelah kiri jalan ini dulu ada trem kuda, yang meluncur dari Meester Cornelis (kota bagian bawah) menuju kota lama Pasar Ikan, Jakarta Kota yang kala itu mulai ditinggalkan warga Belanda karena iklimnya tidak sehat.
Dulu, Jakarta pernah memiliki trem kuda dari Meester Cornelis ke Pasar Ikan. Pada 1 Juli 1883 selesai dibangun rel trem uap antara Kota-Harmoni, dan kemudian ke Meester Cornelis. Tapi Batavia pernah selama setahun tidak memiliki trem karena terlebih dulu harus membangun rel-rel. Seperti juga jalan-jalan di Jakarta saat ini jadi menyempit dan macet akibat dibangunnya sarana jalan untuk busway. Tapi dulu tidak dilaporkan ada kemacetan karena kendaraan bermotor belum nongol. Rupanya Jakarta sejak bernama Batavia sudah dilanda banjir. Karena di musim hujan trem tak bisa mencapai tujuan terhalang banjir.
Dalam perjalanan menuju Meester Cornelis banyak terdapat pos-pos penjagaan (gardu). Khususnya dipinggiran kota. Tiap malam secara bergiliran ada yang jaga. Tiap jam tong-tong dibunyikan dan dipukul sesuai dengan jam. Bila ada kebakaran, pencurian dan perampokan jam di gardu-gardu dibunyikan saling susul menyusul. Dan penduduk pun keluar rumah untuk ramai-ramai membekuk si penjahat.
oleh : Alwi Shahab

Keturunan Portugis di Tugu

Pada tahun 1641, VOC atawa Kompeni berhasil menaklukkan Malaka, kota dagang Portugis di Malaysia, yang kala itu merupakan saingan utama Batavia. Salah satu benda peninggalan Portugis yang diboyong Belanda dari Malaka adalah ‘meriam si jagur’ kini disimpan di Musium Sejarah DKI Jakarta, setelah selama 200 tahun pernah dikekramatkan.

Dan, sebagai lazimnya mereka yang kalah perang kala itu, maka VOC pun memboyong tawanan perang ke Batavia. Terdiri dari orang-orang Portugis dan dan orang dari daerah yang diduduki Portugis kala itu, seperti Goa, Malabar, dan Coramandel. Konon, nama Jl Roa Malaka di Jakarta Barat berasal dari mereka.

Di Batavia, setelah mengganti agamanya dari Katolik jadi Protestan, mereka dibebaskan dari budak menjadi mardika atau mardijkers. Sampai akhir abad ke-19, agama Katolik dilarang di Indonesia. Tawanan Portugis dari Malaka yang tidak setuju pindah agama dari Katolik ke Protestan ditempatkan di Flores, Nusatenggara Timur.

Agama Katolik baru dibolehkan di zaman Daendels (1808), ketika Belanda ditaklukkan Prancis. Di Tugu sendiri kemudian terjadilah perkawinan-perkawinan terutama dengan suku-suku yang beragama Kristen. Seperti orang Banda, yang di Batavia diberi tempat sendiri, yakni Kampung Banda(n). Pada tahun 1661 gereja di Batavia dengan persetujuan VOC memindahkan sebanyak 23 KK (150 jiwa) yang diberi nama ‘Mustisa’ (Mestiezen) yang berarti campuran.

Mereka diberi tempat 20 km sebelah tenggara Batavia, yaitu Kampung Toegoe (Tugu sekarang ini). Nama Tugu berarti paal, batas (grenspaal). Ada juga yang mengartikannya batu persinggahan atau dari kata Portuguese. Yang jelas sampai saat ini Kampung Tugu merupakan kampung Kristen tertua di Indonesia bagian Barat dengan segi-segi sejarahnya tersendiri.

Sejak 1661, yakni sejak mendiami Kampung Tugu, mereka disebut orang Tugu. Tapi oleh Muslim sekitarnya mereka disebut ‘orang serani’ berasal dari kata Nasrani. Orang Tugu merupakan keluarga besar, karena perkawinan-perkawinan yang terjadi setelah mereka berada di tempat baru itu. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bertani, berburu babi yang dibuat dendeng asin, yang dikenal dengan nama ‘dendeng Tugu’. Mereka juga menangkap ikan di kali Tugu (kali Cakung) atau di laut. Hasilnya untuk keperluan sendiri.

Kesibukan lain tidak banyak terdapat karena kehidupan di Tugu untuk beberapa ratus tahun adalah semacam natuurleven (kehidupan alam bebas), tanpa pengaruh luar lainnya. Pada waktu-waktu luang seniman (penggemar seni keroncong) membuat keroncong untuk hiburan sendiri. Umumnya pada malam hari anak-anak muda (sampai sekarang) berkumpul dengan bergantian tempat, untuk membuat keramaian sendiri: seni musik keroncong atau rabu-rabu. Kini, keroncong yang berasal dari Portugis dan telah berusia lebih 350 tahun itu telah meluas di berbagai tempat di tanah air.

Bahasa sehari-hari mereka, yaitu dialek Portugis Tugu, dapat mereka pertahankan sampai tahun 1935. Kini sudah tidak banyak lagi dipergunakan, karena orang-orang tua sudah meninggal dunia. Di samping itu sejarah dendeng tugu juga dikuatirkan akan lenyap. Karena daerah tempat berburu kini sudah lenyap dan sangat jauh seperti Cabang Bungin dan Cabang Empat. Apalalagi ketika tentara Jepang masuk (1942), senapan mereka dirampas.

Beberapa kata Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis cukup banyak. Seperti bangku (dari kata benco), jendela (janela), meja (mesa), sepatu (sapatu), gardu (garda), keju (aquijo), bendera (bandaera), dan topi (capyo). Seperti dikemukakan oleh Samuel Quito (65), salah seorang tokoh Masyarakat Tugu, ketika mereka dipindahkan ke desa ini, Tugu masih berupa rawa-rawa dan sarang nyamuk malaria. Oleh pemerintah kolonial mereka sengaja diisolir agar ‘mati pelan-pelan’. Tapi karena fisik orang Tugu kuat-kuat mereka dapat bertahan di tempat yang mematikan itu.

Sejak 1661 mulai dari tibanya di Tugu mereka dilayani oleh jamaat Portugis di Batavia. Khotbahnya dengan bahasa Portugis. Baru pada 1678, Ds Melchior Leydecker membangun sebuah gereja dari kayu, yang juga berfungsi sebagai sekolah. Kala itu merupakan gereja dan sekolah pertama di Batavia. Ds Melchior yang dikenal sebagai pendiri Kampung Tugu adalah seorang ahli obat-obatan. Ia tinggal di Tugu dan dari sinilah ia menerjemahkan kitsn injil dari bahasa Belanda ke Melayu. Pekerjaan ini belum selesai, dan ia keburu dipanggil Tuhan pada 16 Maret 1701, dan dimakamkan di Kampung Tugu. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Ds Petrus Van de Vorm, dan selesai tahun itu juga.

Pada tahun yang sama pendeta bangsa Portugis menyalin kitab injil dari bahasa Yunani ke bahasa Portugis. Juga di kampung Tugu, DS Amelda Pareira, yang semasa hidupnya seorang Katolik yang patuh, kemudian pada umur sekitar 14 tahun ia turut dengan seorang pendeta Belanda ke Batavia. Sejak usia remaja itu dia dididik menjadi pendeta untuk jemaat Portugis di Jakarta.

oleh : Alwi Shahab

China Town – Arab Town

Jakarta pada 22 Juni 2006 genap 479 tahun. Jakarta masih lebih muda dibandingkan Beijing (kl 300 tahun SM), dan Hanoi (abad ke-7 Masehi). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan ibukota lain di Asia Tenggara, sejarah Jakarta lebih panjang. Bangkok, misalnya, didirikan pada 1769.

Jakarta juga lebih tua dibanding Sydney (1788). Bahkan, James Cook sebelum menemukan Australia kapalnya mengalami perbaikan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Lalu bagaimana dengan Singapura. Kota jasa terkemuka ini baru dibangun Raffles pada 1819 ketika masih bernama Temasek, sebuah kampung nelayan. Demikian pula dengan Kuala Lumpur pada awal abad ke-19.

Untuk menyambut ulang tahun kota Jakarta, kita akan mendatangi tempat-tempat awal berdirinya kota itu. Kita mulai dari bekas gedung Stadhuis (balai kota Batavia), yang kini menjadi Musium Sejarah DKI Jakarta. Gedung ini dibangun tahun 1620 oleh VOC pada masa Gubernur Jenderal JP Coen. Bangunan sekarang yang pernah dikagumi Ratu Elizabeth dari Inggris, ketika mengunjunginya, adalah hasil renovasi tahun 1710 pada masa pemerintahan Van Hoorn.

Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, dan playboy Oey Tambahsia, pernah ‘menginap’ di balai kota Batavia. Yang terakhir bahkan dihukum pancung di Stadhuis Plein depan museum Jakarta yang ketika itu berupa alun-alun. Konon, Bang Puase yang dituduh membunuh Nyai Dasima juga dipancung di sini.

Di lantai dua museum tersebut kini masih ditemukan ‘pedang keadilan’. Entah berapa banyak terhukum yang kepalanya berpisah dari badannya melalui pedang tersebut. Dahulu, alun-alun itu sangat luas hingga ke dekat Kota Inten dk Pasar Ikan. Saat eksekuasi sebuah mimbar disiapkan, dan masyarakat luas diminta untuk menyaksikannya.

Dari Balai Kota menyeberang Jl Pintu Besar Utara kita menuju Jl Kalibesar Timur. Di depan gedung PT Cipta Niaga terketak Gedung Kota Bawah milik seorang ibu yang akrab dipanggil Ella Ubaidi. Gedung ini dibangun kira-kira pada awal abad ke-20. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan era tumbuhnya liberalisme di berbagai bidang. Pada masa itu Kali Besar merupakan kawasan yang ramai karena letaknya di dalam benteng (Binnenstadt).

Kemudian kita beralih ke luar benteng Batavia. Setelah melawati Glodok pusat perdagangan bergengsi selama lebih dari tiga abad kita lebih mendalam lagi memasuki China Town. Di sini terdapat kawasan Patekoan kini Jl Perniagaan. Nama ini punya kaitan dengan Kapiten Cina Gan Djie, seoroang Cina totok yang datang dari Ciang Ciu dibagian selatan propinsi Hokkian.

Seperti juga moyang dari konglomerat Thio Tiong Ham dan Liem Sioe Liong, Gan Djie saat datang ke Indonesia berdagang kelontong di Gresik keluar masuk kamnpung sambil menenteng pikulan. Hanya dalam beberapa tahun ia menjadi saudagar besar di Gresik. Kemudian ia ke Batavia (1659). Karena dermawan dan suka menolong orang banyak, di tempatnya yang baru ini dia menjadi seorang terkemuka. Dan, pada 1663 ia diangkat menjadi kapiten Cina.

Di depan kediamannya tiap hari dia dan istrinya menyediakan delapan poci teko (pat te koan) berisi air teh untuk orang yang ingin minum. Dari kata inilah berasal nama Patekoan salah satu pusat perdaqgangan di China Town. Dari sini, hanya dalam waktu 20 menit berjalan kaki, kita akan memasuki Kampung Arab (Arab Town) Pekojan. Kalau di China Town kita lebih banyak mendapati daerah-daerah perdagangan, di Arab Town (Pekojan) kita masih menjumpai tempat-tempat bersejarah yang punya kaitan dengan pengembangan agama Islam di Nusantara.

Pada tahun 1901 di Pekojan berdiri satu organiasi pendidikan Islam, Jamiat Kheir. Organisasi ini dibangun oleh Shahab bersaudara: Ali dan Idrus, serta Syeikh Said Basandi. Organisasi ini mengundang simpati tokoh-tokoh Islam seperti KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (Syarikat Islam) dan Haji Agus Salim.

Tempat berdirinya Jamiat Kheir kira-kira di Jalan Pekojan Kecil II. Di sini terdapat Masjid Raudah. Di tempat inilah diperkirakan lahirnya ide dari para pemuda Islam untuk mendirikan Jamiat Kheir, tujuh tahun sebelum Budi Utomo. Jamiat Kheir juga ikut menyebarkan gerakan Pan Islam dari Sayid Jamaluddin Afghani, Sheikh Muhammad Abduh dan Sayid Rashid Ridha.

Berdekatan dengan Jl Pekojan Keciul II terdapat Masjid Zawiah, didirikan Habib Ahmad bin Hamzah Alatas yang lahir di Tarim, Hadramaut. Ketika masih mengajar di masjid ini ia menggunakan kitab Fathul Mu’in kitab kuning yang hingga kini masih jadi rujukan di kalamgan Muslim tradisional. Di depannya terdapat Masjid An-Nawir masjid terbesar di Jakarta Barat. Masjid ini dibangun tahun 1760 dan di depannya terdapat ‘jembatan kambing’ dengan pedagang yang sudah empat generasi turun menurun.

Meskipun tradisi penduduk di China Town dan Arab Town bertolak belakang, tapi tidak mengurangi kerukunan mereka sebagai tetangga. Boleh dikata selama ratusan tahun hampir tidak pernah terjadi bentrok antar-kedua keturunan yang berbeda agama itu. Saat bulan Ramadhan, misalnya, warga Cina yang tinggal di Arab Town tidak ada yang merokok atau makan pada siang hari untuk menghormati orang yang berpuasa.

Demikian pula pedagang bakso dan bakmi sampai tahun 1960-an tidak ada yang berani lewat Pekojan karena kala itu bakso dibuat dari daging babi. Toleransi antara mereka terlihat pada peristiwa kerusuhan Mei 1988. Jamaah-jamaah Arab ikut mengamankan rumah-rumah orang Tionghoa dari penjarahan dan pembakaran. Kerukunan semacam itu yang perlu terus dipertahankan.

Oleh : Alwi Shahab

Raffles vs Daendels


Di Singapura kita akan dapati banyak nama tempat yang mengabadikan Sir Thomas Stamford Raffles. Ada nama lapangan, jalan, bulevard, tempat rekreasi dan hotel yang mengabadikan nama pendiri kota ‘singa’ itu. Ada juga patung Raffles, saat dia pertama kali menginjakkan kakinya di Temasek (1819), sebuah dusun nelayan berawa-rawa yang kini menjadi Singapura.
Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat negara pulau tersebut menghargai jasa penguasa dari Inggris itu. Padahal, cita-cita awalnya ketika ia membangun Singapura adalah untuk menyaingi bandar Batavia, tempat dia berkuasa selama lima tahun (1811-1816).

Bertolak belakang dari Raffles, Marsekal Herman Willem Daendels (1805-1808) hampir tidak dikenal masyarakat Indonesia. Padahal, marsekal bertangan besi yang diangkat menjadi gubernur jenderal oleh Louis Bonaparte, adik Kaisar Napoleon saat berkuasa di Belanda itu, sampai saat ini masih kita dapati peninggalannya. Daendels dijuluki ‘Napoleon Betawi’ karena kesediannya terhadap Prancis. Dialah yang memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng). Menyebabkan Batavia meluas kearah selatan.
Daendels-lah yang membangun jalan raya sepanjang 1000 km dari Anyer di Banten sampai ke Panarukan, suatu karya monumental bila diingat kala itu belum ada alat-alat berat. Dan, dia dengan bengis memerintahkan kepada para sultan dan bupati untuk mengerahkan ribuan pekerja paksa (rodi) untuk membangun Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Fakta sejarah menunjukkan bahwa akibat pembangunan jalan yang kini dapat kita nikmati itu, ribuan pekerja mati dan mayat-mayat berkaparan tak terkuburkan. Masyarakat desa yang dilanda kelaparan sudah tidak lagi mampu bangkit, apalagi mengurus saudara-saudaranya yang meninggal yang oleh agama diwajibkan untuk dimuliakan. Menurut data sekitar 12 ribu orang mati.
Ada lagi prestasi Daendels, ketika ia datang ke suatu daerah, ia menancapkan tongkat kayu dan berkata, ”Coba usahakan bila aku datang kembali ditempat ini telah dibangun sebuah kota.” Kemudian jadilah Bandung, yang dijuluki Parijs van Java dan Kota Kembang. Bung Karno ketika menyelenggarakan Konperensi Asia-Afrika (1955) yang dihadiri puluhan kepala negara sengaja memilih Bandung. Kini Bandung yang dulu dikagumi Belanda dan wisatawan mancangara mendapat predikat baru : Kota Sampah.
Gagasan membangun Jalan Paya Pos muncul di benak Daendles saat ia dalam perjalanan darat pada 29 April 1808 dari Buintenzorg (Bogor) ke Semaranbg, terus ke Jawa Timur. Itu menunjukkan tekadnya bila diingat jalan ini masih hutan belantara dan melalui daerah-daerah pegunungan dengan banyaknya tebing dan jurang.
Keberadaan Daendles di Nusantara tak dapat dilupakan ketika pada 1799-1807 Belanda dikuasai Napoleon yang kala itu menghadapi Inggris. Dan, Jalan Raya Pos tidak dapat dipisahkan dari upaya mempertahankan Pulau Jawa dari ancaman pendudukan Inggris.
Untuk itu, sebaiknya kita membandingkan kedua orang yang saling bermusuhan tersebut. Berlainan dengan Daendles yang kejam dan tidak mengenal sopan santun, mengharuskan para sultan bersimpuh kepadanya, Raffles yang lahir di India Barat (6 Juli 1781) adalah pribadi yang lembut. Salah satu sifat yang menjadikannya sebagai humanis.
Dan, ketika pasukan Inggris 4 Agustus 1811 dengan 12 ribu pasukannya mendarat di Cilincing, Daendles yang telah bersiap-siap sebelumnya sudah tidak lagi menjadi gubernur jenderal. Ia diganti JHW Jansen (1762-1838). Pasukan Inggris hanya memerlukan waktu enam minggu untuk melumpuhkan kekuatan Prancis di Batavia. Lalu Raffles diangkat sebagai gubernur jenderal (1811-1816). Napoleon tidak mau dipecundangi begitu saja, sebaliknya Inggris mewaspadai Prancis. Ingris membangun arsenal meriam di sepanjang Jl Matraman ke selatan sampai ke lapangan Jenderal Urip Sumohardjo. Inggris memperhitungkan pasukan Prancis akan membuat revanche, dan diperkirakan akan menyerang dari arah Jl Gunung Sahari.
Dugaan Inggris meleset. Oktober 1813 tentara Prancis mendarat di Cilincing, tetapi tidak menuju Ancol melainkan memasuki hutan-hutan (bypass sekarang) dan menusuk dari Jatinegara. Tentara Inggris dibokong dan basisnya di Jl Tegalan dihancurkan. Ratusan tentara Inggris tewas dan jeneazahnya dibenamkan di rawa-rawa Jatinegara (Rawabangke dan kini diganti jadi Rawabunga). Jalan Matraman jadi ajang pertempuran hebat gaya Eropa. Bekas konsentrasi Inggris yang lengang itu dikenal sebagai solitude (kesunyian). Kemudian menjadi Gang Solitude dan kini diganti jadi Jl KHA Dahlan.
Tapi, akhirnya Inggris berhasil menguasai Batavia dan diangkatlah Raffgles sebagai letnan gubernur. Sedangkan gubernur jenderalnya berpusat di Kalkutta (India). Selama masa penjajahan Inggris (1811-1816) Raffles selain dikenal sebagai pekerja keras dalam mengubah administrtasi lama, dia juga meluruskan diplomasi dengan para sultan di Jawa dalam upaya pendekatan diplomatiknya. Berlainan dengan Daendels yang sering menghina mereka.
Laporan sebuah candi besar telah ditemukan tersembunyi di hutan dekat Yogya — yang samasekali tidak diketahui Belanda — yang membuatnya gembira dan iapun melakukan perjalanan kesana. Candi itu adalah Borobudur yang dibangun ribuan tahun sebelumnya dan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Kini menjadi tempat suci paling dihormati para penganut agama Budha di dunia.
oleh : Alwi Shahab