Inilah hukuman gantung di masa kolonial pada awal abad ke-20. Tapi pelaksanaan eksekusi bukan di Lapangan Balai Kota (Stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jakarta Kota. Namun eksekusi hukuman gantung terakhir terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjeng terjadi di tempat ini pada 1896, dia memberlakukan korbannya seorang wanita Tionghoa secara kejam, yang juga sekarang ini banyak sekali terjadi di Jakarta. Ketika hukuman gantung berlangsung di Balai Kota Jakarta Utara, si pelaku pidana mati di tiang gantungan dengan pedang atau semacam guilotine primitif.
Kalau sekarang ini terpidana mati ditembak di tempat yang disembunyikan, dulu disaksikan banyak orang seperti terlihat dalam foto. Bahkan masyarakat secara luas diminta untuk menyaksikannya. Ketika terjadi eksekusi terhadap perampok Tjoen Boen Tjeng, yang paling banyak menyaksikan justru kaum wanita. Rupanya mereka bersimpati kepada korban perampokan seorang wanita. Tapi yang jelas hati wanita tempo doeloe lebih tabah karena tidak gentar melihat hukuman yang sangat sadis itu.
Setelah hukuman gantung tidak lagi dilakukan di alun-alun Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah DKI dengan penjara bawah tanahnya yang sangat menyeramkan. Penjara kemudian dipindahkan kesebelah timur Jl Hayam Wuruk dan bersebrangan kali dengan Hotel Jayakarta. Dalam gambar terlihat di tengah alun-alun disiapkan tiang gantungan dengan sebuah tangga bambu. Di bawahnya samar-samar terlihat seorang narapidana yang berpakaian putih-putih dengan bagian muka tertutup juga dengan kain putih. Berdiri ditangga seorang algojo dan begitu tambang ditarik maka tercekiklah si pidana mati. Di bagian kiri dengan baju hitam-hitam tampak sejumlah pengawal penjara.
Mereka yang ditahan karena perkara sipil, diharuskan membawa makanan atau minta makanan yang dikirim dari luar. Seperti juga masa kini, para sipir penjara sering meminta ‘uang rokok’ supaya mengizinkan makanan yang dikirim itu benar-benar disampaikan pada yang bersangkutan. Sejak zaman VOC jabatan sipir dianggap basah. Apalagi sekarang ini penjara menjadi tempat transaksi narkoba. Dan banyak tuduhan orang dalam ikut bermain. Seperti Eddy Tansil yang menilep uang negara ratusan miliar pada masa Pak Harto belasan tahun lalu berhasil melarikan diri berkat ‘jasa’ seorang petugas penjara Cipinang.
Dalam ‘Cerita si Conat’, seorang kepala perampok yang hidup pertengahan abad ke-19, pengarang FDJ Pangemanan menulis saat-saat ia menjalani hukuman mati di alun-alun Rangkasbitung, Banten, pada 5 April 1855. Eksekusi disaksikan ribuan orang yang memenuhi alun-alun. Dan setelah si Conat naik tangga gantungan, semua orang bersorak dan berteriak. ”Conat! Selamat jalan.”
Kalau sekarang banyak perampok setelah keluar dari penjara mereka mengulangi lagi perbuatan kejinya akibat hukuman yang tidak berat. Berlainan di zaman VOC, kejahatan dengan melakukan perampokan tidak ampun lagi dijatuhi hukuman mati atau hukuman kerja paksa puluhan tahun dengan kaki dirantai.
(oleh : Alwi Shahab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar