Dalam foto tahun 1930-an terlihat empat buah gedung saling berdampingan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Lapangan yang luasnya sekitar dua pertiga Lapangan Monas, ketika itu bernama Waterlooplein (lapangan Waterlo). Sebagai simbol kekalahan kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte di Waterloo, Belgia.
Di tengah-tengah deretan gedung, tampak sebuah tugu.
Dengan patung singa di atasnya (lihat foto) hingga warga Jakarta sampai tahun 1950-an menyebutnya Lapangan Singa. Kemudian Bung Karno menggantinya jadi Lapangan Banteng.
Di bekas tugu singa ini, Bung Karno saat-saat Trikora untuk membebaskan Irian Barat (Papua) membangun tugu Irian Barat. Persis di depan pintu gerbang Departemen Keuangan, tampak patung gubernur jenderal JP Coen, yang kemudian diruntuhkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).
Prancis, ketika masa Kaisar Napoleon pernah berkuasa di Batavia (1808-1811) dengan gubernur jenderal Daendels. Dialah yang membangun jalan sepanjang 1.000 km dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jatim). Meskipun melalui sistem kerja paksa. Kini, ketiga gedung yang menyatu dengan Departemen Keuangan, di sudut kanan sampai 1960-an pernah menjadi gedung parlemen sebelum pindah ke Senayan. Gedung di sebelah kiri dulu merupakan tempat hiburan militer ‘Concordia’. Sedangkan pada masa Daendels dan sejumlah penggantinya, lapangan Banteng adalah tempat parade militer. Pada sore hari, terutama di hari-hari libur, warga Eropa yang datang dengan kereta kuda mencari hiburan di lapangan ini.
Gedung di bagian paling kiri, yang bentuknya agak berbeda adalah gedung Mahkamah Agung sebelum dipindahkan ke dekat Istana. Di gedung inilah pernah disidangkan tokoh DI/TII Kartosuwiryo pada 1962. Dia kemudian didor di Pulau Onrust, kepulauan Seribu. Di gedung ini pula empat pemuda dijatuhi hukuman mati pada peristiwa Cikini, untuk membunuh Bung Karno. Antaranya Saadon, Tasrif dan Yusuf Ismail. Pada 1963 gembong Republik Maluku Selatan (RMS) ditangkap dan diadili di gedung ini. Ia pun di vonis mati.
oleh : Alwi Shahab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar