Senin, 24 Mei 2010

Keturunan Portugis di Tugu

Pada tahun 1641, VOC atawa Kompeni berhasil menaklukkan Malaka, kota dagang Portugis di Malaysia, yang kala itu merupakan saingan utama Batavia. Salah satu benda peninggalan Portugis yang diboyong Belanda dari Malaka adalah ‘meriam si jagur’ kini disimpan di Musium Sejarah DKI Jakarta, setelah selama 200 tahun pernah dikekramatkan.

Dan, sebagai lazimnya mereka yang kalah perang kala itu, maka VOC pun memboyong tawanan perang ke Batavia. Terdiri dari orang-orang Portugis dan dan orang dari daerah yang diduduki Portugis kala itu, seperti Goa, Malabar, dan Coramandel. Konon, nama Jl Roa Malaka di Jakarta Barat berasal dari mereka.

Di Batavia, setelah mengganti agamanya dari Katolik jadi Protestan, mereka dibebaskan dari budak menjadi mardika atau mardijkers. Sampai akhir abad ke-19, agama Katolik dilarang di Indonesia. Tawanan Portugis dari Malaka yang tidak setuju pindah agama dari Katolik ke Protestan ditempatkan di Flores, Nusatenggara Timur.

Agama Katolik baru dibolehkan di zaman Daendels (1808), ketika Belanda ditaklukkan Prancis. Di Tugu sendiri kemudian terjadilah perkawinan-perkawinan terutama dengan suku-suku yang beragama Kristen. Seperti orang Banda, yang di Batavia diberi tempat sendiri, yakni Kampung Banda(n). Pada tahun 1661 gereja di Batavia dengan persetujuan VOC memindahkan sebanyak 23 KK (150 jiwa) yang diberi nama ‘Mustisa’ (Mestiezen) yang berarti campuran.

Mereka diberi tempat 20 km sebelah tenggara Batavia, yaitu Kampung Toegoe (Tugu sekarang ini). Nama Tugu berarti paal, batas (grenspaal). Ada juga yang mengartikannya batu persinggahan atau dari kata Portuguese. Yang jelas sampai saat ini Kampung Tugu merupakan kampung Kristen tertua di Indonesia bagian Barat dengan segi-segi sejarahnya tersendiri.

Sejak 1661, yakni sejak mendiami Kampung Tugu, mereka disebut orang Tugu. Tapi oleh Muslim sekitarnya mereka disebut ‘orang serani’ berasal dari kata Nasrani. Orang Tugu merupakan keluarga besar, karena perkawinan-perkawinan yang terjadi setelah mereka berada di tempat baru itu. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bertani, berburu babi yang dibuat dendeng asin, yang dikenal dengan nama ‘dendeng Tugu’. Mereka juga menangkap ikan di kali Tugu (kali Cakung) atau di laut. Hasilnya untuk keperluan sendiri.

Kesibukan lain tidak banyak terdapat karena kehidupan di Tugu untuk beberapa ratus tahun adalah semacam natuurleven (kehidupan alam bebas), tanpa pengaruh luar lainnya. Pada waktu-waktu luang seniman (penggemar seni keroncong) membuat keroncong untuk hiburan sendiri. Umumnya pada malam hari anak-anak muda (sampai sekarang) berkumpul dengan bergantian tempat, untuk membuat keramaian sendiri: seni musik keroncong atau rabu-rabu. Kini, keroncong yang berasal dari Portugis dan telah berusia lebih 350 tahun itu telah meluas di berbagai tempat di tanah air.

Bahasa sehari-hari mereka, yaitu dialek Portugis Tugu, dapat mereka pertahankan sampai tahun 1935. Kini sudah tidak banyak lagi dipergunakan, karena orang-orang tua sudah meninggal dunia. Di samping itu sejarah dendeng tugu juga dikuatirkan akan lenyap. Karena daerah tempat berburu kini sudah lenyap dan sangat jauh seperti Cabang Bungin dan Cabang Empat. Apalalagi ketika tentara Jepang masuk (1942), senapan mereka dirampas.

Beberapa kata Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis cukup banyak. Seperti bangku (dari kata benco), jendela (janela), meja (mesa), sepatu (sapatu), gardu (garda), keju (aquijo), bendera (bandaera), dan topi (capyo). Seperti dikemukakan oleh Samuel Quito (65), salah seorang tokoh Masyarakat Tugu, ketika mereka dipindahkan ke desa ini, Tugu masih berupa rawa-rawa dan sarang nyamuk malaria. Oleh pemerintah kolonial mereka sengaja diisolir agar ‘mati pelan-pelan’. Tapi karena fisik orang Tugu kuat-kuat mereka dapat bertahan di tempat yang mematikan itu.

Sejak 1661 mulai dari tibanya di Tugu mereka dilayani oleh jamaat Portugis di Batavia. Khotbahnya dengan bahasa Portugis. Baru pada 1678, Ds Melchior Leydecker membangun sebuah gereja dari kayu, yang juga berfungsi sebagai sekolah. Kala itu merupakan gereja dan sekolah pertama di Batavia. Ds Melchior yang dikenal sebagai pendiri Kampung Tugu adalah seorang ahli obat-obatan. Ia tinggal di Tugu dan dari sinilah ia menerjemahkan kitsn injil dari bahasa Belanda ke Melayu. Pekerjaan ini belum selesai, dan ia keburu dipanggil Tuhan pada 16 Maret 1701, dan dimakamkan di Kampung Tugu. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Ds Petrus Van de Vorm, dan selesai tahun itu juga.

Pada tahun yang sama pendeta bangsa Portugis menyalin kitab injil dari bahasa Yunani ke bahasa Portugis. Juga di kampung Tugu, DS Amelda Pareira, yang semasa hidupnya seorang Katolik yang patuh, kemudian pada umur sekitar 14 tahun ia turut dengan seorang pendeta Belanda ke Batavia. Sejak usia remaja itu dia dididik menjadi pendeta untuk jemaat Portugis di Jakarta.

oleh : Alwi Shahab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar