Di Jakarta dan berbagai daerah kini bermunculan spanduk-spanduk dengan huruf besar, Rakyat Menolak Premanisme. Spanduk-spanduk itu menunjukkan kebencian rakyat terhadap preman, bahkan mereka dianjurkan untuk melawan, sekalipun kenyataannya kejahatan para preman makin mengganas.
Meskipun ratusan di antara mereka telah didor, preman terus ada. Kapolri Jenderal Pol Sutanto juga memiliki target untuk memerangi dan memberantas preman, tapi berbagai tindak kejahatan terus terjadi. Akibat keadaan Jakarta yang tidak aman, banyak investor yang menghentikan niatnya untuk menanamkan modal di sini.
Melihat premanisme yang sudah makin menakutkan, saya teringat pada satuan Cobra pada tahun 1950-an dan awal 1960-an. Pimpinan organiasi ini adalah putra kelahiran Bangka, Kemang, Jakarta Selatan. Dia seorang militer. Ketika membentuk Cobra ia berpangkat Kapten dan anggota KMKBDR (Komando Markas Kota Besar Dajakarta Raya). Ia dibesarkan di daerah Senen, Jakarta Pusat. Sampai akhir hayatnya (meninggal 9 September 1982 dalam usia 59 tahun), ia lebih dikenal dengan sebutan Kapten Syafi’ie sekalipun kala itu sudah berpangkat Letkol.
Tapi, sebelum kita menguraikan keberhasilan Cobra dalam memberantas preman, sebaiknya kita mendatangi kawasan Kampung Melayu Kecil dekat majelis taklim dan perguruan At-Thahiriyah. Sampai tahun 1970-an, di sini terdapat Gang Alhadad, namun kini sudah berganti nama. Nama ini mengacu pada nama tokoh masyarakat Sayyid Muhammad Alhadad.
Keturunan Arab dari Hadramaut itu memiliki kemampuan ilmu silat. Lalu kepandaiannya itu diturunkan pada putranya, Sayyid Abdulkadir Alhadad. Orang lebih banyak memanggilnya Mi Kadir. Menurut cucunya, Umar Alhadad (64), diantara para murid kakeknya terdapat Imam Syafi’ie atau Bang Pi’ie.
Beberapa jagoan Betawi seperti H Dahrif dari Klender, Bekasi, KH Mohd Nur dari Pondok Rangon, Bekasi, termasuk murid Sayyid Kadir. Menurut tokoh Betawi, H Irwan Sjafiie (77), yang pernah dekat dengan Imam Syafi’ie, selain ahli main pukulan, Mi Kadir juga memiliki bermacam ilmu, dan tentu saja ilmu agama. Di kediamannya di Jatinegara, kata H Irwan, dia menyediakan kamar khusus bagi muridnya, Imam Syafi’ie.
Begitu berwibawa dan kharismatiknya Sayid Abdulkadir Alhadad ini, hingga bila ada keributan antar-jagoan, dia cukup mengirimkan utusannya dan menyampaikan salamnya. Dan, hanya dengan menyebut namanya, keributan sudah berakhir. Sayyid Abdulkadir lahir di Jatinegara tahun 1896 dan meninggal dalam usia 62 tahun. Ketika almarhum sakit hingga wafatnya, Letkol Syafi’ie, yang kala itu tengah menempuh pendidikan di SESKOAD Bandung, tiap Sabtu dan Minggu mendatanginya. Termasuk membantu ongkos pengobatannya.
Baiklah kita kembali ke organasasi keamanan Cobra. Ada kisah tersendiri dia menamakan demikian. Pada pertengahan 1950-an di bioskop REX Senen (kini pertokoan) tengah diputar film Darna. Film Pilipina yang jadi box office di Jakarta itu banyak menampilkan ular cobra. ”Kebetulan kala itu Bapak juga ikut dalam orkes melayu yang bernama Cobra,” tutur Asmawi Syafi’ie (62), putra Imam Syafi’ie, kepada penulis beberapa waktu lalu.
Anggota Cobra banyak dari kalangan pejuang kemerdekaan yang pada masa revolusi fisik menjadi anak buahnya. Sayangnya, setelah kemerdekaan banyak di antara pejuang itu yang tidak mendapat tempat di militer. Agar jangan sampai mereka ‘salah jalan’ oleh Bang Pi’ie mereka dikumpulkan dalam Cobra.
Cobra melakukan disiplin yang sangat keras terhadap para anggotanya. Menurut Asmawi, anggota yang menyeleweng seperti melakukan kejahatan akan ditindak tegas. Tapi, terlebih dulu ditanyakan kepadanya alasan perbuatannya. Jika alasannya tidak punya pekerjaan dan modal, maka Bang Pi’ie memberinya modal. Tapi, jika setelah mendapatkan bantuan orang bersangkutan kembali melakukan kejahatan, tidak akan diberi ampun.
”Biasanya bapak memukulnya dengan buntut ikan pari yang berduri tajam dan bergerigi. Hukuman itu lebih baik dibandingkan kalau ayah memukul dengan tangan. Apalagi tangan kirinya yang menyimpan pukulan maut. Tidak peduli orang sekuat apapun, dia tidak akan tahan menghadapi pukulan tangan kiri bapak,” ujar putranya.
Menurut Haji Irwan, yang pernah dekat dengan almarhum, sukses Cobra dalam membantu menciptakan keamanan di Jakarta tidak lepas dari pendekatan Bang Pi’ie. Termasuk kedekatannya dengan ulama, yang di Betawi kala itu merupakan tokoh yang dihormati. ”Saat itu banyak toko dan tempat hiburan di Jakarta yang menempatkan foto Imam Syafi’ie. Biasanya diletakkan dekat meja kasir,” ujar Asnawi.
Menurut Irwan, adanya foto jago Betawi itu biasanya merupakan jaminan bahwa tidak ada yang berani mengganggu tempat tersebut. Para preman Jakarta kala itu benar-benar dikendalikan dan hampir-hampir dibuat tidak berkutik oleh Cobra. Sebagai contoh, seorang yang kehilangan atau kecopetan di suatu tempat, ia dapat mengadukan kepada tokoh masyarakat setempat. Biasanya barang yang dicuri atau dicopet itu bisa ditemukan dalam beberapa hari. Dalam mengamankan Jakarta, Imam Syafi’ie berpegang pada prinsip, ”Cari makan di Jakarta silahkan. Tapi kalau ganggu gue jangan macam-macam.”
Imam Syafi’ie, dalam mengamankan Jakarta, mendapatkan bantuan dari dua orang tangan kanannya, Ahmad (Mad) Bendot dan Saumin, Keduanya juga sangat ditakuti. Mengingat jasa-jasanya semasa revolusi dan mengamankan Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pernah mengusulkan agar nama salah satu jalan di kawasan Senen mengabadikan nama Imam Syafi’ie.
oleh : Alwi Shahab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar