Senin, 24 Mei 2010

Kamp Konsentrasi Jepang

Pada bulan Maret 1942 Jepang mendarat di Indonesia tanpa perlawanan Belanda. Padahal, sebelumnya Belanda berikrar akan mempertahankan negeri jajahannya sampai tetes darah penghabisan.

Kedatangan balatentara Dai Nippon, yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, disambut meriah oleh rakyat di mana-mana. Di setiap jalanan Ibukota yang dilalui, pasukan Jepang yang datang bersepeda dari Banten, disambut sorak-sorai kemenangan.

Presiden Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat menulis, faktor pertama yang menyebabkan penyambutan spontan itu adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan-tuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Tidak heran kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka.

Bung Karno sendiri, pada masa pendudukan Jepang, duduk sebagai Ketua POETERA (Poesat Tenaga Rakyat). Hingga, selama revolusi fisik ia dituduh terutama oleh NICA sebagai kolabolator.

Kalau rakyat menyambut kedatangan Jepang meskipun kemudian keadaannya lebih sulit dari zaman penjajahan Belanda sebaliknya sebagian besar warga Belanda dan Eropa lainnya harus meringkuk sebagai tawanan perang dalam kamp-kamp. Tidak hanya tentara, juga wanita dan anak-anak, menjalani kehidupan sangat buruk selama hampir tiga setengah tahun.

Di Jakarta terdapat belasan kamp tawanan perang. Menurut buku Recalling the Indies, di seluruh Indonesia terdapat sekitar 100 ribu tawanan perang warga negara Eropa yang ditawan pihak Jepang. Menjelang Perang Dunia II, keadaan ekonomni Hindia Belanda sedang baik-baiknya dengan masuknya pemilik modal dari Eropa dan Amerika Serikat. Untuk menampung melonjaknya kedatangan warga Eropa ke Batavia, pemerrintah Hindia Belanda membangun kompleks perumahan mewah di Menteng, Jakarta Pusat.

Kembali kepada nasib warga Belanda yang menjadi tawanan Jepang, Nyonya VP dari Malang menceritakan dalam Recalling the Indies bahwa banyak gadis muda yang diambil untuk dijadikan pelacur, bekerja di restoran-restoran, untuk melayani para militer Jepang. Tepatnya, mereka dijadikan sebagai jugun ianfu (perempuan yang dijadikan budak seks tentara Jepang).

Di Sluisweg (kini Matraman) ketika itu terdapat kantor Bea Cukai. Di gedung ini oleh Jepang dibangun barak-barak sebagai tempat tawanan Belanda. Dari Juni 1942 sampai Juni 1944 sekitar 3000 laki-laki Belanda ditampung di sini untuk dikirim ke Bandung.

Sejak akhir September 1944 sampai Oktober 1945 tempat itu telah menjadi tempat tahanan wanita dan anak-anak. Misi sekutu yang datang ke Batavia setelah Jepang menyerah, menemukan 1900 wanita dan anak-anak yang di-internier (ditawan) Jepang.

Di Bukit Duri (Jatinegara), yang ketika itu merupakan lembaga pemasyarakatan wanita, dijejal oleh tawanan-tawanan pria, baik militer maupun sipil. Di Jaga Monyet (kini Jl Suryo Pranoto), yang sebelumnya menjadi markas batalion kavaleri KNIL, dijadikan sebagai kamp tawanan perang bagi tentara Sekutu oleh Jepang. Tapi, setelah akhir 1945, Belanda berkuasa kembali di Jakarta, dan kamp itu dijadikan sebagai tempat tawanan tentara Jepang.

Penjara Glodok (kini pertokoan Harco), merupakan kamp tawanan pertama bagi warga Eropa di Jakarta, hanya sehari setelah Jepang menaklukkan Ibukota. Mereka yang ditawan di sini terdiri dari pegawai negeri, polisi, dan staf pamong praja yang jumlahnya mencapai 400 orang.

Sejak akhir Maret 1942 sampai Pebruari 1944 di Glodok dipenjara sekitar 1200-1500 tentara Inggris dan Australia. Di antara mereka juga terdapat orang-orang Belanda yang bekerja di Bandara Kemayoran. Dari Januari hingga Agustus 1945 di penjara Glodok ditawan anak-anak dan para pemuda Indo-Belanda sebanyak 650 orang. Mereka ditawan dalam keadaan menyedihkan.

RS Jiwa Grogol, Jakarta Barat, antara Juli 1943 sampai Agustus 1944, menjadi tempat tawanan wanita dan anak-anak Belanda. Mereka dicampurkan dengan penderita sakit jiwa. Sekitar 1200 orang ditampung di tempat ini.

Di kamp pengungsi Koja, Tanjung Priok, mendekam 800 tahanan Inggris yang didatangkan dari Bandung. Di Kampung Makassar (Jakarta Timur), perkebunan kelapa disulap oleh Jepang telah disulap menjadi kamp tawanan perang. Antara Mei 1943 sampai Januari 1945 tempat itu menjadi tawanan perang sekitar dua ribu tentara, termasuk militer Australia.

Kemudian kamp itu dijadikan kamp kerja untuk sekitar tiga ribu wanita dan anak-anak yang dipindahkan dari Cideng (Jakarta), Bogor, dan Bandung. Tugas mereka adalah menanam sayuran untuk mensuplai makanan bagi para tawanan yang ditempatkan di Jakarta. Di samping itu mereka juga ditugaskan untuk memelihara babi (peternakan). Sekitar enam ribu ekor babi diternakkan di kamp tawanan perang Jepang ini.

Sebuah sekolah Tionghoa di Petekoan, Glodok, Jakarta Barat, juga digunakan sebagai kamp tawanan perang untuk sekitar seribu militer dan sipil. Mereka yang terakhir ditempatkan di situ adalah para pekerja paksa dari Timor, dan orang-orang pribumi yang berasal dari kapal yang terkena torpedo (kapal Prancis), yakni orang-orang Vietnam dan Indo Cina. Di antara tawanan perang itu adalah para anggota AU Inggris dan Australia, serta pasukan Gurkha dari Serawak dan Malaka.

oleh : Alwi Shahab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar