Senin, 24 Mei 2010

Habib Ahmad Mencari Kampung Arab

Menjelajahi Jl Gajah Mada dari arah Harmoni kita diminta untuk bersabar menghadapi macetnya lalu lintas ke arah Glodok. Berbelok ke kiri sebelum mencapai gedung Arsip Nasional yang dulu tempat tinggal gubernur jenderal de Klerk, yang dibangun pada abad ke-18, terdapat kampung Krukut.

Nama kampung tua yang berdiri tidak lama setelah kota Batavia itu kini diganti jadi Jl Kebahagiaan dan Jl Keutamaan. Memasuki Krukut kita akan mendapati masjid berusia ratusan tahun, yang kini sudah diperbaharui hingga tidak terlihat lagi keasliannya.

Pekan lalu, saya mengantarkan Habib Ahmad Somaid (83 tahun) ke Krukut, tempat ia dilahirkan pada tahun1923. Perjalanan dari Kebagusan, Pasar Minggu, ke Krukut, yang berjarak sekitar 20 km, kami tempuh dalam waktu empat jam akibat macetannya lalu lintas. Habib yang kini warga Arab Saudi itu, saking kesal dan lelahnya karena mobil harus berjalan merayap-rayap, mengatakan, ”Seperti perjalanan dari Arafah ke Mina saat ibadah haji.”

Karena sudah puluhan tahun tidak melihat tanah kelahirannya, dia menjadi kaget, karena suasananya sudah berubah. Dahulu, Krukut dan juga Pekojan, dihuni hampir seluruhnya oleh orang Arab. Dulu di Krukut banyak kambing berkeliaran, karena keturunan Arab senang daging kambing. Sekarang, sebagian besar penduduknya keturunan Cina. Habib, yang datang bersama istri dan cucu-cucunya yang tengah liburan, tidak menjumpai lagi rumah tempat ia dilahirkan. ”Semua berubah. Saya sudah tidak mengenal lagi Krukut sekarang ini,” katanya menyerah setelah berputar-putar beberapa lama.

Bercerita tentang masa kecil, Habib Ahmad dari Krukut kemudian pindah ke Tanah Abang. Ia tinggal di Jl Karet (kini Jl KH Mas Mansyur), di depan kuburan Arab (dibongkar pada masa gubernur Ali Sadikin). ”Dulu, pagi-pagi di depan rumah saya lewat tukang makanan, buah-buahan, dan tukang beras yang hendak mangkal di pasar Tanah Abang,” katanya. Dia juga tidak mengenali lagi bekas kediamannya. Di Tanah Abang, dia bersekolah di Jamiatul Kheir dan Al-Irfan, yang dipimpin Abdullah Salim Alatas, ayah mantan Menlu Ali Alatas.

Pada tahun 1932, dalam usia 9 tahun, dia pindah ke Kwitang, di Jalan Kembang Sepatu (kini Jl Kramat Kwitang I), Jakarta Pusat. Di Kwitang, kala itu tinggal tokoh Islam H Agus Salim (Syarikat Islam), Mr Mohamad Roem (Masyumi) dan Saerun (wartawan dan pemilik Harian Pemandangan). ”Saya berkawan baik dengan putera-puteri H Agus Salim,” katanya.

Ayahnya, Habib Husain Somaid, merupakan salah seorang penasehat Habib Ali Alhabsyi, pemimpin majelis taklim Kwitang. Ayahnya adalah seorang hafidz (hafal Alquran). Suatu waktu di pengajian, saat ia membaca Alquran, tiba-tiba lampu padam. Tapi ayahnya terus membaca hingga yang hadir jadi heran, karena ia membaca saat lampu padam.

”Waktu di Kwitang, saya naik trem listrik dari Gang Listrik (kini Jl Kramat III) ke pasar Tanah Abang. Kemudian ke Jamiatul Khair yang letaknya berdekatan. Kala itu, keturunan Arab diharuskan naik trem di kelas II dengan tarif 10 sen. Kelas III tarifnya lebih murah hanya untuk bumiputera, yang oleh Belanda disebut inlander. Ke Tanah Abang trem melewati Kalipasir, dan jembatan kali Ciliwung. Kala itu, lebar sungai yang membelah Kwitang – Kalipasir beberapa kali lipat dari sekarang. Demikian juga airnya jernih, hingga digunakan untuk mandi, mencuci dan wudhu.”

Pada tahun 1937 (16 Juni), ia menghadiri Jambore Kepanduan di Belanda. Naik kapal Dempo milik Belanda, selama 28 hari baru sampai ke Rotterdam. Dia ikut jambore bersama 80 pandu dari Hindia Belanda. Terdiri dari Belanda totok/Indo 30 orang, Ambon 10 orang, Arab 7 orang, dan Bumiputera 30 orang. Wakil pandu Arab memakai stambul warna merah dengan kuncir hitam kopiah sehari-hari orang Mesir. Karena memakai stambul, kita mendapat sambutan dan simpati dari wakil-wakil pandu negara Arab. Uniknya, pihak bumiputera menggunakan lurik dan blangkon. Dalam jambore hadir Lord Baden Powell, bapak pandu internasional.

Pulangnya, Habib Ahnad turun di Port Said, Mesir, dan tidak kembali ke Indonesia. Ketika itu soal visa tidak ada masalah seperti sekarang. Di Kairo ia bersekolah di King Fuad University (kini Cairo Univercity). Tahun 1952, dia melanjutkan petualangannya ke Arab Saudi. Bekerja di perusahaan importir terbesar Saudi, Sharbath, sampai 1956. Pertengahan 1956, ibunya yang sudah lanjut memintanya agar segera kembali ke Indonesia. Sementara ayahnya meninggal dunia tahun 1951.

Setibanya di Indonesia, dia memilih jadi anggota PNI. Karena menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis dan Arab, dia termasuk anggota teras partai yang didirikan Bung Karno ini. Kala itu ketua umum PNI Suwiryo. Ia juga bekerja di RRI siaran bahasa Arab untuk konsumsi Timur Tengah bersama ajengan KH Abdullah Bin Nuh. Di PNI dia kenal baik dengan Ruslan Abdulgani dan Hardi SH. Ketika terjadi perdebatan soal poligami, tokoh PNI Ny Supeni minta pendapat saya untuk dijadikan rujukan sebagai suara PNI. Saya katakan Islam tidak melarang poligami tapi kamu harus berlaku adil. Dan kamu tidak bisa berlaku adil.

Pada tahun 1960-an ia kembali ke Arab Saudi sampai 1967. Kemudian bekerja di televisi Kuwait sampai 1973. Untuk kemudian kembali ke Saudi dan bekerja di National Commercial Bank selama 11 tahun dan pensiun 1987. Diapun jadi warga negara Saudi.

Sekalipun tidak menemui lagi kediamannya di Krukut, Tanah Abang, dan Kwitang, tapi kangennya terhadap tanah kelahiran terobati. Dia dapat merasakan kembali asinan, pete kecap, sambel terasi dan terutama durian. Baik saat sarapan, makan siang dan malam, durian tidak pernah ketinggalan. ”Saya juga kagum pada mojang-mojang Indonesia. Cantik dan lebih luwes dibanding gadis-gadis negara lain,” katanya.

oleh : Alwi Shahab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar