Setelah mendatangi bandar Sunda Kalapa — tempat Falatehan menghalau armada Portugis (1527) dan kemudian direbut Belanda (16190) — kita mendatangi Museum Bahari di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dulunya museum ini merupakan gudang rempah-rempah yang terletak tepat di tepi pantai sehingga kapal-kapal yang mengangkut barang-barang dapat berlabuh di depannya. Sekarang sudah ada jalan besar dan didepannya terdapat sebuah pasar dan kantor polisi.
Gudang rempah-rempah itu merupakan salah satu gedung yang terselamatkan, ketika gubernur jenderal Daendels (1808-1811) memindahkan pusat kota dari Oud Batavia ke Weltevreden (Gambir dan sekitarnya). Dari belakang Museum Bahari, dengan menaiki tangga, kita masih mendapati reruntuhan bekas benteng Batavia. Benteng ini dibangun, karena selama 80 tahun setelah kejatuhan Jayakarta, Batavia tidak pernah aman. Baik dari serangan gerilyawan Mataram dan Banten, maupun sisa-sisa pasukan Jayakarta.
Pada awal abad ke-19, ketika Daendels menghancurkan Oud Batavia, termasuk benteng kota yang merupakan sarang penyakit, seorang pendatang menulis, ”Kota Batavia bukan lagi metropolis terkenal masa lampau. Sebagian besar bangunan dan rumah-rumah yang paling penting telah dirobohkan, kecuali gudang-gudang belaka (termasuk Museum Bahari). Istana yang berada dalam benteng hanya tinggal reruntuhan. Kota Batavia hanya seperti sebuah desa yang dikelilingi parit-parit lebar.”
Dari pusat kota berbenteng pagar batu itu kita bisa menyusur ke arah selatan Jalan Pintu Besar yang menjadi tempat pemukiman yang banyak dihuni warga Belanda. Daerah itu dibagi dua oleh sungai Ciliwung. Orang Eropa umumnya tinggal di sebelah timur (Kalibesar Timur) dan orang Cina di sebelah barat (Kalibesar Barat). Sedangkan kampung-kampung tempat orang Sunda, Jawa, Ambon, Bali dan orang-orang dari daerah lain, berkelompok di luar dinding benteng.
Pada abad ke-18, orang-orang Belanda yang lebih kaya membangun rumab-rumah tinggal di sepanjang kanal Molenvliet (kini Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk) sepanjang sekitar tiga kilometer. Banyak orang Cina dan Belanda yang bermukim di daerah yang sedang berkembang itu. Pada abad ke-19, Koningsplein (sekarang Medan Merdeka) menjadi pusat kota baru untuk merebut kembali reputasi sebagai Queen of the East. Pemukiman ini dua kali lebih besar daripada kota lama.
Dengan bertambah ramainya orang membangun di Weltevreden (Gambir dan sekitarnya), pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika modal asing dan dalam negeri makin berkembang, kelebihan penduduk kian merambat ke selatan. Ke jurusan Gondangdia dan Menteng, yang akhirnya menjadi pemukiman yang sangat modern. Sementara, Batavia terus meluas ke timur dan barat, ke Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan ke Tanah Abang.
Weltevreden (tidak jauh dari Molenvliet) pada abad ke-18 merupakan kompleks perumahan yang besar dan bagus. Rumah-rumah besar itu dilengkapi kebun-kebun dengan aneka bunga, seperti rumah peristirahatan. Pada abad ke-19, daerah ini, yang menjadi Nieuw Batavia (kota baru Batavia), masih merupakan jantung kota yang meluas ke segala penjuru. Di sini terdapat taman yang luas: Wilhelmina Park (nama ratu Belanda ketika itu), yang kini oleh Bung Karno disulap menjadi Masjid Istiqlal.
Di samping membangun Koningsplein (kini Monas) — lapangan terbesar dan terluas di seluruh jagad — Daendels juga membangun ‘Gedung Putih’ (semula untuk istanna) yang kini menjadi Departemen Keuangan. Di depannya, Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), tiap Ahad sore didatangi para tuan dan nyonya serta gadis-gadis dengan pakaian mutakhir dari Eropa untuk menyaksikan parade militer. Terdapat gedung Concordia (kini menyatu dengan Depkeu), tempat para perwira militer berpesta pora dengan gadis-gadis cantik.
Harmonie Club (kini bagian dari gedung Sekretariat Negara), digambarkan sebagai bangunan paling menawan pada abad ke-19. Di depannya, di atas jembatan Rijswijk (Jl Veteran) dan Noordwijk (Jl Juanda), terdapat patung Hermes bersayap, yang menurut mitologi Yunani adalah dewa perniagaan, karena masa itu Harmoni dan sekitarnya merupakan pusat pertokoan dan perniagaan. Di dekat Harmoni (Jl Gajah Mada) terdapat hotel paling bergengsi di Batavia: Hotel des Indes. Sebelum dibangun HI pada 1960, para tamu negara dan diplomat asing tinggal di hotel ini.
Di seberang Jl Veteran terdapat Pasar Baru yang sampai tahun 1970-an bersaing dengan Glodok. Sampai sekarang, masih ada pasar gelap dolar dan mata uang asing lain yang banyak terdapat di sini. Sekarang, pemerintah DKI ingin menjadikan Pasar Baru sebagai salah satu pusat belanja di Jakarta.
Dari sekitar Lapangan Banteng kita bisa menuju Jl Thamrin, yang bersambung dengan Jl Sudirman, dan merupakan jalan protokol yang dibangun Bung Karno menjelang Asia Games IV (1962). Di sini terdapat Hotel Indonesia yang kini tengah direnovasi. Di depannya terdapat Tugu Selamat Datang yang dikelilingi air mancur — kini menjadi tempat favorit untuk melakukan demo.
oleh : Alwi Shahab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar