Terletak di Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Kampung yang letaknya 8 km dari terminal Kampung Melayu memang patut untuk dikenang. Karena Pangeran Ahmad Jaketra (Jayakarta), telah memilihnya untuk membangun negara bernama Jatinegara (negara sejati), setelah ia dan para pengikutnya hijrah dari Jakarta Kota.
Ini terjadi pada 31 Mei 1619, atau 382 tahun lalu, ketika ia punya kraton, perkampungan penduduk termasuk masjid -- letaknya kini di sekitar terminal angkutan Jakarta Kota -- dibumi hanguskan VOC. Dari Jatinegara Kaum, pangeran dan para pengikutnya bergerilya, membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun.
Sampai kini masih dijumpai peninggalan pangeran. Masjid As-Salafiah dan sebuah tasbih besar yang digantungkan di masjid ini. Dan, yang lebih penting adalah kompleks pemakaman, tempat makam pangeran, para pengikut dan keluarganya dimakamkan. Letaknya masih dalam kompleks masjid.
Saat Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten menyerang Belanda, Jatinegara Kaum memegang peran penting sebagai pos terdepan gerilyawan Banten. Kontak yang terus menerus antara Jatinegara Kaum-Banten terlihat dari kedatangan Pangeran Sanghiyang ke daerah tersebut pada 1660. Disusul oleh Pangeran Sagiri dan Pangeran Sake pada 1682 yang menetap di kampung ini. Keduanya putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.
Mereka kemudian jadi penyebar Islam yang handal. Pangeran Sagiri dakwah di sekitar Rawamangun, Kampung (Kp) Jawa, Kp Lio, Kp Pulo Kambing dan Kp Pulojae. Sedangkan Pangeran Sake di Cibarusah, Citereup, Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bekasi dan Karawang.
Kalau Pangeran Sagiri dimakamkan di Jatinegara Kaum, saudaranya di Kabupaten Bogor. Karena itulah para keturunan Pangeran Jayakarta, Pangeran Sake dan Sagiri bukan saja berada di Jatinegara Kaum, juga di berbagai tempat. Menurut tokoh masyarakat Jatinegara Kaum, RH Kamzul Arifin dan R Subarna, 'kauman' juga terdapat di beberapa tempat lainnya yang ditinggali keturunan Pangeran Jayakarta. Seperti Cibarusah, Citereup, Purwakarta, Bekasi dan Karawang.
Para ningrat keturunan Jatinegara Kaum biasanya bertemu setahun dua kali. Pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang tahun akan diadakan 4 Januari 2001 di Masjid As-Salafiah. Juga nisfu shahban menjelang bulan puasa.
Pangeran Ahmad Jaketra ketika hijrah hidup sebagai rakyat biasa. Tidak mau membangun istana untuk merahasiakan identitasnya. Maklum sebagai orang yang ditakuti Belanda, ia selalu dikejar-kejar musuh bebuyutannya ini. Pangeran melarang keturunannya untuk berbahasa Melayu dalam pergaulan antar mereka. Tapi, seperti dikatakan RH Suhandi (71), sesepuh masyarakat Jatinegara Kaum, dewasa ini pemuda umumnya sudah tidak bisa berbahasa Sunda. Sunda hanya digunakan para orang tua.
Untuk menjaga identitas dirinya, Pangeran juga melarang keturunannya memberitahukan letak makamnya. Tidak heran kalau makamnya baru diketahui 1956, masa gubernur DKI Sumarno. Boleh diacungkan jempol kepatuhan keturunannya ini memenuhi wasiat itu. Karena makam leluhurnya baru diketahui umum setelah 337 tahun dirahasiakan.
Sekalipun sejak lama jalan raya Jakarta-Bekasi dibangun, menghubungkan Jakarta- Karawang, tapi Jatinegara Kaum sendiri masih terpencil. Sampai 1960'an tanah yang membatasi daerah Jatinegara Kaum dengan tetangganya Rawamangun masih berupa sawah. Konon, untuk menghindari masuknya para pendatang, sebagian penduduk sengaja membuang kotoran di jalan itu. Tapi, menurut RH Suhandi, kalau beberapa dekade lalu hampir seluruh penduduk daerahnya merupakan satu kerabat, kini sudah fifty-fifty. Alias sebagian sudah hengkang dari tempat kelahirannya.
Sekalipun selama ratusan tahun jadi kampung tertutup, tapi menurut R Subarna, pendidikan warga di sini rata-rata SMA plus. Menyebabkan ekonomi mereka lebih baik dari warga Betawi umumnya. Ini karena, mereka lebih dulu masuk ke sekolah-sekolah umum (Belanda). Ketika warga Betawi umumnya masih mengharamkannya. Karenanya, kata Subarna, banyak diantara warga yang menjadi bupati, wedana, camat dan lurah.
(Oleh: Alwi Shahab)
Ini terjadi pada 31 Mei 1619, atau 382 tahun lalu, ketika ia punya kraton, perkampungan penduduk termasuk masjid -- letaknya kini di sekitar terminal angkutan Jakarta Kota -- dibumi hanguskan VOC. Dari Jatinegara Kaum, pangeran dan para pengikutnya bergerilya, membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun.
Sampai kini masih dijumpai peninggalan pangeran. Masjid As-Salafiah dan sebuah tasbih besar yang digantungkan di masjid ini. Dan, yang lebih penting adalah kompleks pemakaman, tempat makam pangeran, para pengikut dan keluarganya dimakamkan. Letaknya masih dalam kompleks masjid.
Saat Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten menyerang Belanda, Jatinegara Kaum memegang peran penting sebagai pos terdepan gerilyawan Banten. Kontak yang terus menerus antara Jatinegara Kaum-Banten terlihat dari kedatangan Pangeran Sanghiyang ke daerah tersebut pada 1660. Disusul oleh Pangeran Sagiri dan Pangeran Sake pada 1682 yang menetap di kampung ini. Keduanya putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.
Mereka kemudian jadi penyebar Islam yang handal. Pangeran Sagiri dakwah di sekitar Rawamangun, Kampung (Kp) Jawa, Kp Lio, Kp Pulo Kambing dan Kp Pulojae. Sedangkan Pangeran Sake di Cibarusah, Citereup, Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bekasi dan Karawang.
Kalau Pangeran Sagiri dimakamkan di Jatinegara Kaum, saudaranya di Kabupaten Bogor. Karena itulah para keturunan Pangeran Jayakarta, Pangeran Sake dan Sagiri bukan saja berada di Jatinegara Kaum, juga di berbagai tempat. Menurut tokoh masyarakat Jatinegara Kaum, RH Kamzul Arifin dan R Subarna, 'kauman' juga terdapat di beberapa tempat lainnya yang ditinggali keturunan Pangeran Jayakarta. Seperti Cibarusah, Citereup, Purwakarta, Bekasi dan Karawang.
Para ningrat keturunan Jatinegara Kaum biasanya bertemu setahun dua kali. Pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang tahun akan diadakan 4 Januari 2001 di Masjid As-Salafiah. Juga nisfu shahban menjelang bulan puasa.
Pangeran Ahmad Jaketra ketika hijrah hidup sebagai rakyat biasa. Tidak mau membangun istana untuk merahasiakan identitasnya. Maklum sebagai orang yang ditakuti Belanda, ia selalu dikejar-kejar musuh bebuyutannya ini. Pangeran melarang keturunannya untuk berbahasa Melayu dalam pergaulan antar mereka. Tapi, seperti dikatakan RH Suhandi (71), sesepuh masyarakat Jatinegara Kaum, dewasa ini pemuda umumnya sudah tidak bisa berbahasa Sunda. Sunda hanya digunakan para orang tua.
Untuk menjaga identitas dirinya, Pangeran juga melarang keturunannya memberitahukan letak makamnya. Tidak heran kalau makamnya baru diketahui 1956, masa gubernur DKI Sumarno. Boleh diacungkan jempol kepatuhan keturunannya ini memenuhi wasiat itu. Karena makam leluhurnya baru diketahui umum setelah 337 tahun dirahasiakan.
Sekalipun sejak lama jalan raya Jakarta-Bekasi dibangun, menghubungkan Jakarta- Karawang, tapi Jatinegara Kaum sendiri masih terpencil. Sampai 1960'an tanah yang membatasi daerah Jatinegara Kaum dengan tetangganya Rawamangun masih berupa sawah. Konon, untuk menghindari masuknya para pendatang, sebagian penduduk sengaja membuang kotoran di jalan itu. Tapi, menurut RH Suhandi, kalau beberapa dekade lalu hampir seluruh penduduk daerahnya merupakan satu kerabat, kini sudah fifty-fifty. Alias sebagian sudah hengkang dari tempat kelahirannya.
Sekalipun selama ratusan tahun jadi kampung tertutup, tapi menurut R Subarna, pendidikan warga di sini rata-rata SMA plus. Menyebabkan ekonomi mereka lebih baik dari warga Betawi umumnya. Ini karena, mereka lebih dulu masuk ke sekolah-sekolah umum (Belanda). Ketika warga Betawi umumnya masih mengharamkannya. Karenanya, kata Subarna, banyak diantara warga yang menjadi bupati, wedana, camat dan lurah.
(Oleh: Alwi Shahab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar