Adanya hukuman mati di Indonesia lebih dipertegas lagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan tidak bertentangan dengan UUD 45. Khususnya terhadap pelaku kejahatan narkotika, sebanyak 62 orang telah divonis hukuman mati. Belum lagi terhadap kasus terorisme dan berbagai kejahatan lainnya.
Sayangnya, banyak koruptor yang jelas-jelas menilep uang rakyat se-abrek-abrek tidak mendapat hukuman keras. Bahkan, seorang yang dituduh melakukan pembalakan hutan di Sumut divonis bebas oleh majelis hakim, sementara maling ayam dihukum berat. Hukuman mati bukan hal baru bagi Indonesia. Sejak masa kompeni empat abad lalu hukuman ini telah melayangkan banyak nyawa. Bahkan jauh sebelumnya, di masa-masa kerajaan, hukuman mati telah dilaksanakan.
Tapi, siapa yang mulai dihukum mati pada zaman VOC? Yang jelas gubernur jenderal JP Coen pernah memancung seorang calon perwira muda VOC bernama Pieter Contenhoef di alun-alun Balai Kota (Stadhuis), kini Museum Sejarah Jakarta.
Pasalnya, pemuda berusia 17 tahun itu tertangkap basah saat ‘bermesrahan’ dengan Sara, gadis berusia 13 tahun yang dititipkan di rumah Coen. Sara sendiri, didera dengan badan setengah telanjang di pintu masuk Balai Kota. Sara adalah puteri Jacquees Speex dari hasil kumpul kebonya dengan wanita Jepang.
Pada 29 Juli 1676 di tempat yang sama dilaksanakan hukuman terhadap empat orang pelaut karena membunuh orang Cina. Kemudian, hampir dalam waktu bersamaan enam budak belian dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya pada malam hari.
Pada masa kompeni hukuman bagi ‘penjahat’ memang berat. Pelaksanaan hukuman mati pada tiang gantungan, dengan pedang atau guillotine primitif, dilaksanakan di depan serambi Balai Kota pada hari-hari tertentu setiap bulan. Seorang Mestizo, putra seorang ibu pribumi dan ayah berkulit putih, digantung hanya karena mencuri. Sementara delapan pelaut dicap dengan lambang VOC yang panas dan membara, karena disersi dan pencurian.
Prajurit VOC wajib memiliki disiplin yang tinggi. Mereka yang melalaikan tugas tidak ampun lagi akan mendapatkan hukuman berat. Pernah dua tentara Belanda digantung karena selama dua malam meninggalkan pos mereka. Perzinahan, apalagi perbuatan serong, mendapat hukuman berat. Ini dialami oleh seorang wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan kemudian ditahan dalam penjara wanita selama 12 tahun karena beberapa kali melakukan perselingkuhan.
Kalau sekarang ini eksekusi dengan tembak sampai mati tidak akan dilakukan di muka umum, dulu saat guilletin masih berlaku, masyarakat diminta untuk mendatangi tempat eksekusi. Menyaksikan bagaimana kepala terpisah dari badan. Untung Suropati lolos dari eksekusi karena dibantu oleh Suzanna, puteri majikannya yang menaruh hati pada budak dari Bali ini. Malah Untung berhasil membunuh Kapten Tack, ketika hendak menumpas pemberontakan yang dipimpinnya.
Prasasti Kapten Tack dapat kita saksikan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya yang dituduh hendak melakukan pemberontakan menjelang malam tahun baru 1722 juga dieksekusi secara kejam. Badannya dirobek jadi empat bagian kemudian dilempar keluar kota untuk santapan burung. Kita juga dapat menjumpai prasastinya di Museum Prasasti.
Oey Tambahsia, yang dijuluki playboy Betawi, pada abad ke-19 juga tewas di tiang gantungan. Dia tidak pernah puas terhadap wanita, selalu mengejar wanita tidak peduli anak dan istri orang. Padahal, ia masih remaja. Termasuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita dan pesaing bisnisnya. Oey menaiki tiang gantungan dengan tenang dan wajah berseri dalam usia 31 tahun. Kepada sang algojo dia berkata: ”Dikantongku ada sejumlah uang. Ambillah asal kau tidak terlalu kejam menghukumku.”
Pada 1963, Bung Karno menandatangi hukuman mati terhadap pemimpin DI/TII Kartosuwirjo yang melakukan pemberontakan di Jawa Barat. Menurut keterangan, sebelum menandatanganinya, Bung Karno terlebih dulu shalat Magrib dan berdoa. Eksekusi itu kemudian dilakukan di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu).
Penjahat kelas kakap yang dijatuhi hukuman mati pada masa Bung Karno adalah Kusni Kasdut. Dia merampok di tempat perhiasan emas di Museum Nasional, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ketika peristiwa kejahatan ini terjadi, Monas dengan menaranya yang menjulang sedang dibangun. Hingga ada yang secara iseng mengusulkan, penjahat kelas kakap sebaiknya dihukum dengan melemparnya dari menara Monas.
Dalam peristiwa Cikini usaha pembunuhan terhadap Bung Karno para pelakunya juga dituntut hukuman mati. Mereka adalah Saadon, Tasrif dan Yusuf Ismail. Saat ini, dalam kasus terorisme, tiga orang divonis mati, yakni Imam Samudera, Amrozi dan Ali Gufran. Sejauh ini mereka menolak untuk meminta grasi kepada presiden. Dalam kasus kejahatan narkotika, PN Tangerang perlu diacungi jempol. Merekalah yang paling getol menuntut hukuman mati terhadap bandar dan penjahat pengedar narkoba.
Dari 62 kejahatan narkoba yang di vonis mati, 21 orang divonis oleh PN Tangerang. Di antaranya enam orang wanita. Diantara mereka terdapat warganegara Nigeria, Thailand, Angola, Zimbabwe, Malawi, Pakistan dan Belanda.
(Oleh : Alwi Shahab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar