Minggu, 23 Mei 2010

"Kota Hantu" Batavia

Couperus, seorang pendatang dari Belanda, begitu turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kalapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang sebelumnya mendapat predikat ‘ratu dari timur’ telah berubah seolah-olah merupakan kota hantu.

Lalu dia menjelajahi Princenstraat yang kini telah menjadi Jl Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos, Jakarta Kota. Dia mendapati beberapa gedung di kota tua telah dihancurkan rata dengan tanah termasuk Istana Gubernur Jenderal, gedung yang cukup megah ketika itu.

Penghancuran itu dilakukan oleh gubernur jenderal Willem Herman Daendels pada tahun 1808 ketika memindahkan pusat kota ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng) yang jaraknya sekitar 15 km selatan kota tua. Pemindahan dilakukan karena pusat kota di tepi pantai itu telah menjadi sarang penyakit. Ada yang menyebutkan ‘kuburan’ orang Belanda.

Padahal, sebelumnya Princenstraat dengan jalannya yang memanjang merupakan daerah elite orang-orang Belanda. Di sini terdapat gedung-gedung mewah yang merupakan bagian kota Batavia yang paling indah. ”Mereka membangun rumah-rumah di tepi parit dan kanal Tigergrach (kanal harimau), berpagar tanaman rapi berupa pohon kenari di kiri kanan, melebihi segala-galanya yang pernah saya lihat di Holland,” tulis Couperos.

Di pusat pemerintahan VOC itu penduduk kota Batavia tiap hari disibukkan ke kantor, pasar atau sekadar pesiar keliling kota, sembari pamer kekayaan. Nyonya-nyonya besar Kompeni, serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat-tingkat kayak kurungan ayam. Mereka keluar mencari angin di samping kanal dan terusan Batavia dengan congkak.

Para budak dan bedinde berjalan mengiringi mereka. Memayungi wajahnya dari sengatan matahari tropis yang panas. Para budak wanita terus mengipas-ngipas mencari angin buat sang nyai yang terus mengunyah sirih pinang, memerahi bibirnya.

Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan. ”Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder kuatir buaya pemangsa pria iseng yang datang mengintip,” tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah. Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.

Bagi penduduk Jabodetabek – Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi masa kini akan sangat sulit membayangkan kota Batavia yang santai pada akhir abad ke-18 dan juga abad ke-19. Sebagian bangunan dari masa itu sudah diratakan dengan tanah. Taman-taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi warna Eropa pada kota Batavia telah hilang. Beberapa bagian peninggalan masa lalu itu kini terkesan kumuh. Lalu lintasnya macet, sementara muara Ciliwung yang dulu dibanggakan dan dapat dimasuki kapal-kapal, tampak kotor, kehitaman dan berbau.

Pada zaman itu tidak ada mobil dan tentu saja tidak ada kemacetan, apalagi polusi. Pedagang asongan, jalur cepat dan manusia hidup tanpa dikejar waktu seperti sekarang. Yang ada hanya beberapa sado yang ditarik kuda yang memecahkan kesunyian jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi oleh pohon-pohon rindang yang berdiri kokoh tanpa khawatir akan tumbang seperti sering terjadi akhir-akhir ini.

Menurut Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad ke-XVI s/d Abad XX, pada 1815 Batavia hanya berpenduduk 47 ribu jiwa dan pada akhir abad ke-19 sebanyak 116 ribu jiwa. Dengan kata lain, ibukota Hindia Belanda ini bersuasana pedesaan bila dibandingkan dengan kota industri dan pelabuhan Surabaya yang berpenduduk 147 ribu jiwa dan berirama hidup lebih cepat.

Gubernur Jenderal Daendels, setelah memporak-porandakan kota tua Batavia, membangun Weltevreden belasan kilometer selatan kota tua. Di samping gedung dan perkantoran sebagai pusat pemerintahan, ia juga membangun lapangan Gambir yang mula-mula diberi nama Champs de Mars. Kemudian menjadi Konings Plein saat Belanda berkuasa kembali. Di Weltevreden ia juga membangun Waterlooplein yang kini menjadi Lapangan Banteng.

Konings Plein yang oleh warga Betawi disebut Lapangan Gambir dan Lapangan Ikada pada masa Jepang (kini Lapangan Monas), mungkin merupakan lapangan paling luas di dunia. Lebih luas dari lapangan Santo Pietro di Vatikan tempat Paus bertatap muka dengan para jamaah Katholik. Juga lebih luas dari Tian An Men di Beijing dan Lapangan Merah di Moskow.

Di dekat Monas terdapat Kebun Sirih. Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dulu merupakan kebun sirih. Tanaman merambat yang belum begitu lama berselang digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah nyirih (makan sirih). Kelengkapannya antara lain kapur (sirih), pinang dan gambir.

Sampai 1960-an di rumah-rumah masih tersedia tempat sirih untuk para ibu yang datang bertamu dengan tempolong untuk membuang ludah bewarna merah setelah mengunyahnya. Sampai abad ke-19 bukan hanya wanita, pria pun banyak yang nyirih.

(Oleh : Alwi Shahab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar