Senin, 24 Mei 2010

Stasion KA Tanjung Priok 1910















Inilah Stasion Kereta Api Tanjung Priok yang diabadikan pada 1910. Pembangunannya hampir bersamaan dengan dibukanya pelabuhan Tanjung Priok (1885) menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Pelabuhan yang belakangan ini sudah tidak dapat lagi menampung kapal-kapal samudera akibat lumpur yang mengendap di muara Ciliwung. Untuk jaringan perhubungan dengan Batavia, dibuatlah jalan kereta api yang menghubungkan Tanjung Priok – Jakarta Kota yang merupakan pusat perkantoran dan bisnis.
Di sekitar stasion kereta api lama, seperti terlihat dalam foto terdapat sejumlah perusahaan, yang kini sudah berubah fungsi menjadi terminal. Karena kegiatan bongkar muat yang makin meningkat, maka dibangunlah stasion KA baru pada 6 April 1925 yang hingga kini gedungnya masih tampak megah, sekalipun kegiatan perkeretaapian di stasion ini sudah terhenti. Pembukaan stasion baru itu, bersamaan dengan penggunaan pertama jalur kereta api listrik dari Meester Cornelis (Jatinegara) ke Tanjung Priok.
Ketika pemancangan tiang pertama stasion KA Tanjung Priok diadakan upacara penanaman dua kepala kerbau dengan pembacaan doa oleh kyai setempat. Sedangkan dagingnya dijadikan santapan kenduri oleh para pegawai. Kala itu bahkan hingga kini ada yang berpendapat bahwa ‘penanaman kepala kerbau’ saat membangun jembatan dan gedung merupakan suatu kemoestian.
Stasion KA Tanjung Priok merupakan stasion pertama yang monomental di Batavia dengan delapan jalur, yang kala itu melebihi stasion Beos di Jakarta Kota. Stasion Tanjung Priok yang dibangun oleh Holland Beton Maatchappij didatangi kereta dari berbagai jurusan. Dahulu, warga Eropa yang baru tiba di pelabuhan Tanjung Priok langsung naik kereta api menuju Weltevreden (Pasar Baru dan Senen) serta Meester Cornelis. Apabila kapal mendarat pada malam hari, mereka menginap di sebuah hotel yang merupakan bagian dari stasion.
Sampai 1960′an para pendatang dari daerah-daerah ke Jakarta umumnya mengunjungi pusat kota naik KA dari stasion Priok.Salah satu tempat hiburan di Priok adalah pantai Zandvoord (orang menyebutnya Sampur). Pantainya yang bening dan belum kena polusi, di hari-hari liburan banyak dikunjungi berbagai lapisan masyarakat. Mereka umumnya datang naik KA.
oleh : Alwi Shahab

Menyelusuri Ulama-ulama Betawi

Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.

Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Alhabsyi, putera Habib Muhammad Alhabsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Alhazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Alhamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Alhamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Perjuanjgannya kemudiann diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB.
Keluarga Jamalullain termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluiarga Jamalulail. Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi jurudakwah yang handal. Mereka telah memelopori berdirinya surau-surau di Jakarta yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggbunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri.
Kanak-kanak yang mendengar beduk bergembira, lalu belarian ke jalan raya sambil bernyanyi. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui beduk. Akibatnya, seringkali lebaran dirayakan dalam waktu berbeda. Guru Mansyur memahami hal ini. Karena itu, ia memperdalam ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab.
Dalam adat Betawi, guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Ia menguasai kitab-kitab agama dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas guru ada dato’. Dia menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah guru ada mualim. Di bawah mualim adalah ustadz, pengajar pemula agama. Di bawah ustadz ada guru ngaji, yang mengajar anak-anak untuk mengenalk huruf Arab.
oleh : Alwi Shahab

Mester-Condet-Cililitan

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa nama Jatinegara, sebuah kecamatan di Jakarta Timur, baru muncul pada tahun 1942. Yakni, pada awal masa pendudukan Jepang sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.

Nama Jatinegara ‘negara sejati’ sebetulnya sudah dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jakatra. Saat pangeran dan pengikutnya hengkang dari Sunda Kelapa dan keratonnya dihancurkan Belanda, sambil bersumpah untuk memerangi VOC, mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama Jatinegara Kaum, di Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Jepang, pada saat bersamaan, juga merubah nama Batavia menjadi Jakarta, dari kata Jayakarta. Naman ini juga telah dipopulerkan Fatahillah, ketika ia dan balatentaranya mengusir pasukan Portugis dari Teluk Jakarta (22 Juni 1527).

Sebutan Meester Cornelis sendiri mulai muncul ke pentas sejarah kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17 bersamaan dengan diberikannya izin pembukaan hutan di kawasan itu pada Cornelis Senen oleh VOC. Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen dari Lontor, Pulau Banda.

Ketika tanah tumpah darahnya dikuasai kompeni (1621), Cornelis mulai bermukim di Batavia. Dia dikenal mampu berkhotbah, baik dalam bahasa Melayu maupun Portugis (Kreol). Sebagai guru ia biasa dipanggil meester yang berarti tuan guru. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan Meester Cornelis, yang oleh pribumi biasa disingkat mester.

Hingga sekarang masih banyak warga menyebut mester untuk Jatinegara atau Kampung Melayu. Termasuk para pengemudi angkot dan bus kota. Meester Cornelis dahulu merupakan kawasan yang berdiri sendiri dan tidak dalam pemerintahan Batavia.

Dari Jatinegara, setelah melalui Cawang (berasal nama seorang kapten Melayu encik Awang), bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim di kawasan yang sekarang dikenal dengan Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.

Menurut Rachmat Ruchiat, mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Museum DKI, pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir masyarakat, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sa’irin alias Bapak Cangok. Sa’irin dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang (1924). Di samping itu, dia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet (1916).

Dari Cawang, kita menuju ke kawasan Condet. Di Condet Raya, yang jalan rayanya dua arah, kemacetannya sudah tidak ketolongan lagi. Semua pihak menganggap jalan yang sempit ini perlu diperlebar. Disamping mobil dan ribuan kendaraan beroda dua, jalan ini makin macet dengan beroperasinya metro-mini, yang berhenti seenaknya.

Di Condet, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, terdapat kelurahan Batuampar. Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut, sebagaimana diceritakan oleh orang-orang tua di Condet kepada Ram Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet.

Pada jaman dulu, ada seorang suami istri bernama Pangeran Geger dan Nyai Polongan, yang memiliki beberapa orang anak. Salah seorang puterinya, Siti Maimunah, sangat kesohor kecantikannya. Ia memiliki hidung mancung serudung, rambut mayang terurai, pipih bak pauh dilayang. Konon, kalau Siti Maimunah minum, airnya terlihat ditenggorannya. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara dari Makassar, untuk dijodohkan dengan salah seorang putranya, Pangeran Astawana.

Maemunah bersedia diperistri dengan permintaan supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersantai di atas empang dekat Kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu disanggupi, dan ternyata terbukti. Menurut sahibul hikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di atas empang di pinggir Kali Ciliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari batu dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara.

Menurut hikayat, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu disebut Bale Kambang (balai yang mengambang diatas air). Maka jadilah nama Balekambang. Kawasan Cililitan dulu terbentang dari Kali Ciliwung di sebelah barat, sampai Kali Cipinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan Kampung Makassar dan Condet. Di utara berbatasan dengan Cawang. Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Cipinang. Sekarang ini, anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya. Kata ‘Ci’ adalah bahasa Sunda, mengandung arti sungai. ”Lilitan” lengkapnya ‘lilitan kuru’, adalah nama sejenis tanaman perdu.

Kembali ke kawasan Kramatjati, tempat yang terletak antara kantor kecamatan dan kantor polisi ressort Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan raya Bogor ke TMII terus ke Pondok Gede, dikenal dengan nama Hek. Rupanya nama ini berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda-Indonesia, kata hek berarti pagar. Tetapi hek juga berarti pintu pagar.

Dari seorang penduduk setempat yang berusia lanjut, bahwa di tempat tersebut dulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung-ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar, dan bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar-masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Barisan Pemadam Kebakaran dan Kompleks Polisi Resor Kramatjati.

oleh : Alwi Shahab

Di Simpang Tiga Meester Cornelis


Foto ini dipersimpangan jalan Meester Cornelis (kini Jatinegara), akhir abad ke-19. Mungkin saat itu sang fotografer berdiri di sekitar Lapangan Urip Sumohardjo, Jatinegara di perbatasan Matraman-Jatinegara. Di sebelah kiri simpang tiga Meester Cornelis dengan pepohonan lebat di kiri-kanannya jalan raya menuju jurusan Cipinang, Bekasi, Karawang, Cirebon, dan terus ke Jawa Timur. Jalan ini dibangun gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan rampung 1809. Jalan dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jatim) panjangnya 1.000 km.
Di sebelah kanan jalan raya menuju Kampung Melayu, Cawang, Buitenzorg (Bogor), Puncak, Bandung dan terus ke daerah Priangan. Jalan Daendels ke arah selatan ini pembangunannya lebih berat kala itu lebih banyak gunakan tenaga manusia karena melalui daerah pegunungan. Di sebelah kiri jalan ini dulu ada trem kuda, yang meluncur dari Meester Cornelis (kota bagian bawah) menuju kota lama Pasar Ikan, Jakarta Kota yang kala itu mulai ditinggalkan warga Belanda karena iklimnya tidak sehat.
Dulu, Jakarta pernah memiliki trem kuda dari Meester Cornelis ke Pasar Ikan. Pada 1 Juli 1883 selesai dibangun rel trem uap antara Kota-Harmoni, dan kemudian ke Meester Cornelis. Tapi Batavia pernah selama setahun tidak memiliki trem karena terlebih dulu harus membangun rel-rel. Seperti juga jalan-jalan di Jakarta saat ini jadi menyempit dan macet akibat dibangunnya sarana jalan untuk busway. Tapi dulu tidak dilaporkan ada kemacetan karena kendaraan bermotor belum nongol. Rupanya Jakarta sejak bernama Batavia sudah dilanda banjir. Karena di musim hujan trem tak bisa mencapai tujuan terhalang banjir.
Dalam perjalanan menuju Meester Cornelis banyak terdapat pos-pos penjagaan (gardu). Khususnya dipinggiran kota. Tiap malam secara bergiliran ada yang jaga. Tiap jam tong-tong dibunyikan dan dipukul sesuai dengan jam. Bila ada kebakaran, pencurian dan perampokan jam di gardu-gardu dibunyikan saling susul menyusul. Dan penduduk pun keluar rumah untuk ramai-ramai membekuk si penjahat.
oleh : Alwi Shahab

Keturunan Portugis di Tugu

Pada tahun 1641, VOC atawa Kompeni berhasil menaklukkan Malaka, kota dagang Portugis di Malaysia, yang kala itu merupakan saingan utama Batavia. Salah satu benda peninggalan Portugis yang diboyong Belanda dari Malaka adalah ‘meriam si jagur’ kini disimpan di Musium Sejarah DKI Jakarta, setelah selama 200 tahun pernah dikekramatkan.

Dan, sebagai lazimnya mereka yang kalah perang kala itu, maka VOC pun memboyong tawanan perang ke Batavia. Terdiri dari orang-orang Portugis dan dan orang dari daerah yang diduduki Portugis kala itu, seperti Goa, Malabar, dan Coramandel. Konon, nama Jl Roa Malaka di Jakarta Barat berasal dari mereka.

Di Batavia, setelah mengganti agamanya dari Katolik jadi Protestan, mereka dibebaskan dari budak menjadi mardika atau mardijkers. Sampai akhir abad ke-19, agama Katolik dilarang di Indonesia. Tawanan Portugis dari Malaka yang tidak setuju pindah agama dari Katolik ke Protestan ditempatkan di Flores, Nusatenggara Timur.

Agama Katolik baru dibolehkan di zaman Daendels (1808), ketika Belanda ditaklukkan Prancis. Di Tugu sendiri kemudian terjadilah perkawinan-perkawinan terutama dengan suku-suku yang beragama Kristen. Seperti orang Banda, yang di Batavia diberi tempat sendiri, yakni Kampung Banda(n). Pada tahun 1661 gereja di Batavia dengan persetujuan VOC memindahkan sebanyak 23 KK (150 jiwa) yang diberi nama ‘Mustisa’ (Mestiezen) yang berarti campuran.

Mereka diberi tempat 20 km sebelah tenggara Batavia, yaitu Kampung Toegoe (Tugu sekarang ini). Nama Tugu berarti paal, batas (grenspaal). Ada juga yang mengartikannya batu persinggahan atau dari kata Portuguese. Yang jelas sampai saat ini Kampung Tugu merupakan kampung Kristen tertua di Indonesia bagian Barat dengan segi-segi sejarahnya tersendiri.

Sejak 1661, yakni sejak mendiami Kampung Tugu, mereka disebut orang Tugu. Tapi oleh Muslim sekitarnya mereka disebut ‘orang serani’ berasal dari kata Nasrani. Orang Tugu merupakan keluarga besar, karena perkawinan-perkawinan yang terjadi setelah mereka berada di tempat baru itu. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bertani, berburu babi yang dibuat dendeng asin, yang dikenal dengan nama ‘dendeng Tugu’. Mereka juga menangkap ikan di kali Tugu (kali Cakung) atau di laut. Hasilnya untuk keperluan sendiri.

Kesibukan lain tidak banyak terdapat karena kehidupan di Tugu untuk beberapa ratus tahun adalah semacam natuurleven (kehidupan alam bebas), tanpa pengaruh luar lainnya. Pada waktu-waktu luang seniman (penggemar seni keroncong) membuat keroncong untuk hiburan sendiri. Umumnya pada malam hari anak-anak muda (sampai sekarang) berkumpul dengan bergantian tempat, untuk membuat keramaian sendiri: seni musik keroncong atau rabu-rabu. Kini, keroncong yang berasal dari Portugis dan telah berusia lebih 350 tahun itu telah meluas di berbagai tempat di tanah air.

Bahasa sehari-hari mereka, yaitu dialek Portugis Tugu, dapat mereka pertahankan sampai tahun 1935. Kini sudah tidak banyak lagi dipergunakan, karena orang-orang tua sudah meninggal dunia. Di samping itu sejarah dendeng tugu juga dikuatirkan akan lenyap. Karena daerah tempat berburu kini sudah lenyap dan sangat jauh seperti Cabang Bungin dan Cabang Empat. Apalalagi ketika tentara Jepang masuk (1942), senapan mereka dirampas.

Beberapa kata Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis cukup banyak. Seperti bangku (dari kata benco), jendela (janela), meja (mesa), sepatu (sapatu), gardu (garda), keju (aquijo), bendera (bandaera), dan topi (capyo). Seperti dikemukakan oleh Samuel Quito (65), salah seorang tokoh Masyarakat Tugu, ketika mereka dipindahkan ke desa ini, Tugu masih berupa rawa-rawa dan sarang nyamuk malaria. Oleh pemerintah kolonial mereka sengaja diisolir agar ‘mati pelan-pelan’. Tapi karena fisik orang Tugu kuat-kuat mereka dapat bertahan di tempat yang mematikan itu.

Sejak 1661 mulai dari tibanya di Tugu mereka dilayani oleh jamaat Portugis di Batavia. Khotbahnya dengan bahasa Portugis. Baru pada 1678, Ds Melchior Leydecker membangun sebuah gereja dari kayu, yang juga berfungsi sebagai sekolah. Kala itu merupakan gereja dan sekolah pertama di Batavia. Ds Melchior yang dikenal sebagai pendiri Kampung Tugu adalah seorang ahli obat-obatan. Ia tinggal di Tugu dan dari sinilah ia menerjemahkan kitsn injil dari bahasa Belanda ke Melayu. Pekerjaan ini belum selesai, dan ia keburu dipanggil Tuhan pada 16 Maret 1701, dan dimakamkan di Kampung Tugu. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Ds Petrus Van de Vorm, dan selesai tahun itu juga.

Pada tahun yang sama pendeta bangsa Portugis menyalin kitab injil dari bahasa Yunani ke bahasa Portugis. Juga di kampung Tugu, DS Amelda Pareira, yang semasa hidupnya seorang Katolik yang patuh, kemudian pada umur sekitar 14 tahun ia turut dengan seorang pendeta Belanda ke Batavia. Sejak usia remaja itu dia dididik menjadi pendeta untuk jemaat Portugis di Jakarta.

oleh : Alwi Shahab

China Town – Arab Town

Jakarta pada 22 Juni 2006 genap 479 tahun. Jakarta masih lebih muda dibandingkan Beijing (kl 300 tahun SM), dan Hanoi (abad ke-7 Masehi). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan ibukota lain di Asia Tenggara, sejarah Jakarta lebih panjang. Bangkok, misalnya, didirikan pada 1769.

Jakarta juga lebih tua dibanding Sydney (1788). Bahkan, James Cook sebelum menemukan Australia kapalnya mengalami perbaikan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Lalu bagaimana dengan Singapura. Kota jasa terkemuka ini baru dibangun Raffles pada 1819 ketika masih bernama Temasek, sebuah kampung nelayan. Demikian pula dengan Kuala Lumpur pada awal abad ke-19.

Untuk menyambut ulang tahun kota Jakarta, kita akan mendatangi tempat-tempat awal berdirinya kota itu. Kita mulai dari bekas gedung Stadhuis (balai kota Batavia), yang kini menjadi Musium Sejarah DKI Jakarta. Gedung ini dibangun tahun 1620 oleh VOC pada masa Gubernur Jenderal JP Coen. Bangunan sekarang yang pernah dikagumi Ratu Elizabeth dari Inggris, ketika mengunjunginya, adalah hasil renovasi tahun 1710 pada masa pemerintahan Van Hoorn.

Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, dan playboy Oey Tambahsia, pernah ‘menginap’ di balai kota Batavia. Yang terakhir bahkan dihukum pancung di Stadhuis Plein depan museum Jakarta yang ketika itu berupa alun-alun. Konon, Bang Puase yang dituduh membunuh Nyai Dasima juga dipancung di sini.

Di lantai dua museum tersebut kini masih ditemukan ‘pedang keadilan’. Entah berapa banyak terhukum yang kepalanya berpisah dari badannya melalui pedang tersebut. Dahulu, alun-alun itu sangat luas hingga ke dekat Kota Inten dk Pasar Ikan. Saat eksekuasi sebuah mimbar disiapkan, dan masyarakat luas diminta untuk menyaksikannya.

Dari Balai Kota menyeberang Jl Pintu Besar Utara kita menuju Jl Kalibesar Timur. Di depan gedung PT Cipta Niaga terketak Gedung Kota Bawah milik seorang ibu yang akrab dipanggil Ella Ubaidi. Gedung ini dibangun kira-kira pada awal abad ke-20. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan era tumbuhnya liberalisme di berbagai bidang. Pada masa itu Kali Besar merupakan kawasan yang ramai karena letaknya di dalam benteng (Binnenstadt).

Kemudian kita beralih ke luar benteng Batavia. Setelah melawati Glodok pusat perdagangan bergengsi selama lebih dari tiga abad kita lebih mendalam lagi memasuki China Town. Di sini terdapat kawasan Patekoan kini Jl Perniagaan. Nama ini punya kaitan dengan Kapiten Cina Gan Djie, seoroang Cina totok yang datang dari Ciang Ciu dibagian selatan propinsi Hokkian.

Seperti juga moyang dari konglomerat Thio Tiong Ham dan Liem Sioe Liong, Gan Djie saat datang ke Indonesia berdagang kelontong di Gresik keluar masuk kamnpung sambil menenteng pikulan. Hanya dalam beberapa tahun ia menjadi saudagar besar di Gresik. Kemudian ia ke Batavia (1659). Karena dermawan dan suka menolong orang banyak, di tempatnya yang baru ini dia menjadi seorang terkemuka. Dan, pada 1663 ia diangkat menjadi kapiten Cina.

Di depan kediamannya tiap hari dia dan istrinya menyediakan delapan poci teko (pat te koan) berisi air teh untuk orang yang ingin minum. Dari kata inilah berasal nama Patekoan salah satu pusat perdaqgangan di China Town. Dari sini, hanya dalam waktu 20 menit berjalan kaki, kita akan memasuki Kampung Arab (Arab Town) Pekojan. Kalau di China Town kita lebih banyak mendapati daerah-daerah perdagangan, di Arab Town (Pekojan) kita masih menjumpai tempat-tempat bersejarah yang punya kaitan dengan pengembangan agama Islam di Nusantara.

Pada tahun 1901 di Pekojan berdiri satu organiasi pendidikan Islam, Jamiat Kheir. Organisasi ini dibangun oleh Shahab bersaudara: Ali dan Idrus, serta Syeikh Said Basandi. Organisasi ini mengundang simpati tokoh-tokoh Islam seperti KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (Syarikat Islam) dan Haji Agus Salim.

Tempat berdirinya Jamiat Kheir kira-kira di Jalan Pekojan Kecil II. Di sini terdapat Masjid Raudah. Di tempat inilah diperkirakan lahirnya ide dari para pemuda Islam untuk mendirikan Jamiat Kheir, tujuh tahun sebelum Budi Utomo. Jamiat Kheir juga ikut menyebarkan gerakan Pan Islam dari Sayid Jamaluddin Afghani, Sheikh Muhammad Abduh dan Sayid Rashid Ridha.

Berdekatan dengan Jl Pekojan Keciul II terdapat Masjid Zawiah, didirikan Habib Ahmad bin Hamzah Alatas yang lahir di Tarim, Hadramaut. Ketika masih mengajar di masjid ini ia menggunakan kitab Fathul Mu’in kitab kuning yang hingga kini masih jadi rujukan di kalamgan Muslim tradisional. Di depannya terdapat Masjid An-Nawir masjid terbesar di Jakarta Barat. Masjid ini dibangun tahun 1760 dan di depannya terdapat ‘jembatan kambing’ dengan pedagang yang sudah empat generasi turun menurun.

Meskipun tradisi penduduk di China Town dan Arab Town bertolak belakang, tapi tidak mengurangi kerukunan mereka sebagai tetangga. Boleh dikata selama ratusan tahun hampir tidak pernah terjadi bentrok antar-kedua keturunan yang berbeda agama itu. Saat bulan Ramadhan, misalnya, warga Cina yang tinggal di Arab Town tidak ada yang merokok atau makan pada siang hari untuk menghormati orang yang berpuasa.

Demikian pula pedagang bakso dan bakmi sampai tahun 1960-an tidak ada yang berani lewat Pekojan karena kala itu bakso dibuat dari daging babi. Toleransi antara mereka terlihat pada peristiwa kerusuhan Mei 1988. Jamaah-jamaah Arab ikut mengamankan rumah-rumah orang Tionghoa dari penjarahan dan pembakaran. Kerukunan semacam itu yang perlu terus dipertahankan.

Oleh : Alwi Shahab

Raffles vs Daendels


Di Singapura kita akan dapati banyak nama tempat yang mengabadikan Sir Thomas Stamford Raffles. Ada nama lapangan, jalan, bulevard, tempat rekreasi dan hotel yang mengabadikan nama pendiri kota ‘singa’ itu. Ada juga patung Raffles, saat dia pertama kali menginjakkan kakinya di Temasek (1819), sebuah dusun nelayan berawa-rawa yang kini menjadi Singapura.
Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat negara pulau tersebut menghargai jasa penguasa dari Inggris itu. Padahal, cita-cita awalnya ketika ia membangun Singapura adalah untuk menyaingi bandar Batavia, tempat dia berkuasa selama lima tahun (1811-1816).

Bertolak belakang dari Raffles, Marsekal Herman Willem Daendels (1805-1808) hampir tidak dikenal masyarakat Indonesia. Padahal, marsekal bertangan besi yang diangkat menjadi gubernur jenderal oleh Louis Bonaparte, adik Kaisar Napoleon saat berkuasa di Belanda itu, sampai saat ini masih kita dapati peninggalannya. Daendels dijuluki ‘Napoleon Betawi’ karena kesediannya terhadap Prancis. Dialah yang memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng). Menyebabkan Batavia meluas kearah selatan.
Daendels-lah yang membangun jalan raya sepanjang 1000 km dari Anyer di Banten sampai ke Panarukan, suatu karya monumental bila diingat kala itu belum ada alat-alat berat. Dan, dia dengan bengis memerintahkan kepada para sultan dan bupati untuk mengerahkan ribuan pekerja paksa (rodi) untuk membangun Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Fakta sejarah menunjukkan bahwa akibat pembangunan jalan yang kini dapat kita nikmati itu, ribuan pekerja mati dan mayat-mayat berkaparan tak terkuburkan. Masyarakat desa yang dilanda kelaparan sudah tidak lagi mampu bangkit, apalagi mengurus saudara-saudaranya yang meninggal yang oleh agama diwajibkan untuk dimuliakan. Menurut data sekitar 12 ribu orang mati.
Ada lagi prestasi Daendels, ketika ia datang ke suatu daerah, ia menancapkan tongkat kayu dan berkata, ”Coba usahakan bila aku datang kembali ditempat ini telah dibangun sebuah kota.” Kemudian jadilah Bandung, yang dijuluki Parijs van Java dan Kota Kembang. Bung Karno ketika menyelenggarakan Konperensi Asia-Afrika (1955) yang dihadiri puluhan kepala negara sengaja memilih Bandung. Kini Bandung yang dulu dikagumi Belanda dan wisatawan mancangara mendapat predikat baru : Kota Sampah.
Gagasan membangun Jalan Paya Pos muncul di benak Daendles saat ia dalam perjalanan darat pada 29 April 1808 dari Buintenzorg (Bogor) ke Semaranbg, terus ke Jawa Timur. Itu menunjukkan tekadnya bila diingat jalan ini masih hutan belantara dan melalui daerah-daerah pegunungan dengan banyaknya tebing dan jurang.
Keberadaan Daendles di Nusantara tak dapat dilupakan ketika pada 1799-1807 Belanda dikuasai Napoleon yang kala itu menghadapi Inggris. Dan, Jalan Raya Pos tidak dapat dipisahkan dari upaya mempertahankan Pulau Jawa dari ancaman pendudukan Inggris.
Untuk itu, sebaiknya kita membandingkan kedua orang yang saling bermusuhan tersebut. Berlainan dengan Daendles yang kejam dan tidak mengenal sopan santun, mengharuskan para sultan bersimpuh kepadanya, Raffles yang lahir di India Barat (6 Juli 1781) adalah pribadi yang lembut. Salah satu sifat yang menjadikannya sebagai humanis.
Dan, ketika pasukan Inggris 4 Agustus 1811 dengan 12 ribu pasukannya mendarat di Cilincing, Daendles yang telah bersiap-siap sebelumnya sudah tidak lagi menjadi gubernur jenderal. Ia diganti JHW Jansen (1762-1838). Pasukan Inggris hanya memerlukan waktu enam minggu untuk melumpuhkan kekuatan Prancis di Batavia. Lalu Raffles diangkat sebagai gubernur jenderal (1811-1816). Napoleon tidak mau dipecundangi begitu saja, sebaliknya Inggris mewaspadai Prancis. Ingris membangun arsenal meriam di sepanjang Jl Matraman ke selatan sampai ke lapangan Jenderal Urip Sumohardjo. Inggris memperhitungkan pasukan Prancis akan membuat revanche, dan diperkirakan akan menyerang dari arah Jl Gunung Sahari.
Dugaan Inggris meleset. Oktober 1813 tentara Prancis mendarat di Cilincing, tetapi tidak menuju Ancol melainkan memasuki hutan-hutan (bypass sekarang) dan menusuk dari Jatinegara. Tentara Inggris dibokong dan basisnya di Jl Tegalan dihancurkan. Ratusan tentara Inggris tewas dan jeneazahnya dibenamkan di rawa-rawa Jatinegara (Rawabangke dan kini diganti jadi Rawabunga). Jalan Matraman jadi ajang pertempuran hebat gaya Eropa. Bekas konsentrasi Inggris yang lengang itu dikenal sebagai solitude (kesunyian). Kemudian menjadi Gang Solitude dan kini diganti jadi Jl KHA Dahlan.
Tapi, akhirnya Inggris berhasil menguasai Batavia dan diangkatlah Raffgles sebagai letnan gubernur. Sedangkan gubernur jenderalnya berpusat di Kalkutta (India). Selama masa penjajahan Inggris (1811-1816) Raffles selain dikenal sebagai pekerja keras dalam mengubah administrtasi lama, dia juga meluruskan diplomasi dengan para sultan di Jawa dalam upaya pendekatan diplomatiknya. Berlainan dengan Daendels yang sering menghina mereka.
Laporan sebuah candi besar telah ditemukan tersembunyi di hutan dekat Yogya — yang samasekali tidak diketahui Belanda — yang membuatnya gembira dan iapun melakukan perjalanan kesana. Candi itu adalah Borobudur yang dibangun ribuan tahun sebelumnya dan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Kini menjadi tempat suci paling dihormati para penganut agama Budha di dunia.
oleh : Alwi Shahab

Simbol Kekalahan Napoleon di Lapangan Banteng

Dalam foto tahun 1930-an terlihat empat buah gedung saling berdampingan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Lapangan yang luasnya sekitar dua pertiga Lapangan Monas, ketika itu bernama Waterlooplein (lapangan Waterlo). Sebagai simbol kekalahan kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte di Waterloo, Belgia.
Di tengah-tengah deretan gedung, tampak sebuah tugu. 

Dengan patung singa di atasnya (lihat foto) hingga warga Jakarta sampai tahun 1950-an menyebutnya Lapangan Singa. Kemudian Bung Karno menggantinya jadi Lapangan Banteng.
Di bekas tugu singa ini, Bung Karno saat-saat Trikora untuk membebaskan Irian Barat (Papua) membangun tugu Irian Barat. Persis di depan pintu gerbang Departemen Keuangan, tampak patung gubernur jenderal JP Coen, yang kemudian diruntuhkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).
Prancis, ketika masa Kaisar Napoleon pernah berkuasa di Batavia (1808-1811) dengan gubernur jenderal Daendels. Dialah yang membangun jalan sepanjang 1.000 km dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jatim). Meskipun melalui sistem kerja paksa. Kini, ketiga gedung yang menyatu dengan Departemen Keuangan, di sudut kanan sampai 1960-an pernah menjadi gedung parlemen sebelum pindah ke Senayan. Gedung di sebelah kiri dulu merupakan tempat hiburan militer ‘Concordia’. Sedangkan pada masa Daendels dan sejumlah penggantinya, lapangan Banteng adalah tempat parade militer. Pada sore hari, terutama di hari-hari libur, warga Eropa yang datang dengan kereta kuda mencari hiburan di lapangan ini.
Gedung di bagian paling kiri, yang bentuknya agak berbeda adalah gedung Mahkamah Agung sebelum dipindahkan ke dekat Istana. Di gedung inilah pernah disidangkan tokoh DI/TII Kartosuwiryo pada 1962. Dia kemudian didor di Pulau Onrust, kepulauan Seribu. Di gedung ini pula empat pemuda dijatuhi hukuman mati pada peristiwa Cikini, untuk membunuh Bung Karno. Antaranya Saadon, Tasrif dan Yusuf Ismail. Pada 1963 gembong Republik Maluku Selatan (RMS) ditangkap dan diadili di gedung ini. Ia pun di vonis mati.
oleh : Alwi Shahab

Fromberg Park di Lapangan Monas


Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), boleh diacungkan jempol dalam membangun bukan saja Batavia, tapi juga Nusantara. Dia lah yang membangun lapangan terbuka seperti terlihat dalam foto tahun 1920-an. Inilah Koningsplein (Lapangan Raja), tapi oleh warga Betawi karena sentimen anti-Belanda menyebutnya Lapangan Gambir.
Foto yang diabadikan dari Jl Medan Merdeka Utara tempat Istana Merdeka berada, adalah Fromberg Park (Taman Fromberg). Di bagian kanan terlihat tiang-tiang trem listrik yang dikiri kanannya terdapat pepohonan yang sedap dipandang mata. Fromberg Park (Taman Fromberg) hanya salah bagian dari sejumlah taman yang terdapat di lapangan Monas, lapangan terluas dan terbesdar di kota-kota besar dunia.
Di bagian kiri paling ujung (tidak terlihat) terdapat Deca Park. Di Deca Park terdapat sebuah bioskop untuk golongan elite Belanda, khusus memutar film-film Hollywood yang diberi teks dalam bahasa Belanda. Di dekat Deca Park terdapat lapangan bola Hercules yang pemain-pemainnya kebanyakan warga Belanda. Seperti juga di negaranya, di Indonesia orang Belanda menyenangi sepak bola. Di lapangan ini pada malam hari sering diadakan pertandingan tinju mengundang petinju-petinju kelas berat dari mancanegara. Pada tahun1950′an dalam usia belasan tahun saya sering menonton tinju, tapi dengan cara membolos karena tidak sanggup membayar.
Tapi sayangnya, lapangan terluas di jagat ini sejak masa kolonial telah ‘dikotori’ oleh sejumlah bangunan. Akibatnya sebelum dibangun Monas tahun 1960-an di lapangan ini berdiri beberapa bangunan pemerintah, taman-taman, tempat olah raga dan pacuan kuda. Terdapat juga lapangan hockey yang pemainnya keturunan India dan Pakistan. Kantor telepon, Jawatan Penerangan DKI Jakarta, Taman Amir Hamzah, Kantor Pos Pembantu dan Lapangan IKADA (Ikatakan Atletik Djakarta). Bahkan Reporter Club berkantor di lapangan ini. Karena itulah Bang Ali setelah menjadi gubernur DKI membersihkannya, terrmasuk gubuk-gubuk liar yang dihuni tuna wisma.
oleh : Alwi Shahab

Habib Ahmad Mencari Kampung Arab

Menjelajahi Jl Gajah Mada dari arah Harmoni kita diminta untuk bersabar menghadapi macetnya lalu lintas ke arah Glodok. Berbelok ke kiri sebelum mencapai gedung Arsip Nasional yang dulu tempat tinggal gubernur jenderal de Klerk, yang dibangun pada abad ke-18, terdapat kampung Krukut.

Nama kampung tua yang berdiri tidak lama setelah kota Batavia itu kini diganti jadi Jl Kebahagiaan dan Jl Keutamaan. Memasuki Krukut kita akan mendapati masjid berusia ratusan tahun, yang kini sudah diperbaharui hingga tidak terlihat lagi keasliannya.

Pekan lalu, saya mengantarkan Habib Ahmad Somaid (83 tahun) ke Krukut, tempat ia dilahirkan pada tahun1923. Perjalanan dari Kebagusan, Pasar Minggu, ke Krukut, yang berjarak sekitar 20 km, kami tempuh dalam waktu empat jam akibat macetannya lalu lintas. Habib yang kini warga Arab Saudi itu, saking kesal dan lelahnya karena mobil harus berjalan merayap-rayap, mengatakan, ”Seperti perjalanan dari Arafah ke Mina saat ibadah haji.”

Karena sudah puluhan tahun tidak melihat tanah kelahirannya, dia menjadi kaget, karena suasananya sudah berubah. Dahulu, Krukut dan juga Pekojan, dihuni hampir seluruhnya oleh orang Arab. Dulu di Krukut banyak kambing berkeliaran, karena keturunan Arab senang daging kambing. Sekarang, sebagian besar penduduknya keturunan Cina. Habib, yang datang bersama istri dan cucu-cucunya yang tengah liburan, tidak menjumpai lagi rumah tempat ia dilahirkan. ”Semua berubah. Saya sudah tidak mengenal lagi Krukut sekarang ini,” katanya menyerah setelah berputar-putar beberapa lama.

Bercerita tentang masa kecil, Habib Ahmad dari Krukut kemudian pindah ke Tanah Abang. Ia tinggal di Jl Karet (kini Jl KH Mas Mansyur), di depan kuburan Arab (dibongkar pada masa gubernur Ali Sadikin). ”Dulu, pagi-pagi di depan rumah saya lewat tukang makanan, buah-buahan, dan tukang beras yang hendak mangkal di pasar Tanah Abang,” katanya. Dia juga tidak mengenali lagi bekas kediamannya. Di Tanah Abang, dia bersekolah di Jamiatul Kheir dan Al-Irfan, yang dipimpin Abdullah Salim Alatas, ayah mantan Menlu Ali Alatas.

Pada tahun 1932, dalam usia 9 tahun, dia pindah ke Kwitang, di Jalan Kembang Sepatu (kini Jl Kramat Kwitang I), Jakarta Pusat. Di Kwitang, kala itu tinggal tokoh Islam H Agus Salim (Syarikat Islam), Mr Mohamad Roem (Masyumi) dan Saerun (wartawan dan pemilik Harian Pemandangan). ”Saya berkawan baik dengan putera-puteri H Agus Salim,” katanya.

Ayahnya, Habib Husain Somaid, merupakan salah seorang penasehat Habib Ali Alhabsyi, pemimpin majelis taklim Kwitang. Ayahnya adalah seorang hafidz (hafal Alquran). Suatu waktu di pengajian, saat ia membaca Alquran, tiba-tiba lampu padam. Tapi ayahnya terus membaca hingga yang hadir jadi heran, karena ia membaca saat lampu padam.

”Waktu di Kwitang, saya naik trem listrik dari Gang Listrik (kini Jl Kramat III) ke pasar Tanah Abang. Kemudian ke Jamiatul Khair yang letaknya berdekatan. Kala itu, keturunan Arab diharuskan naik trem di kelas II dengan tarif 10 sen. Kelas III tarifnya lebih murah hanya untuk bumiputera, yang oleh Belanda disebut inlander. Ke Tanah Abang trem melewati Kalipasir, dan jembatan kali Ciliwung. Kala itu, lebar sungai yang membelah Kwitang – Kalipasir beberapa kali lipat dari sekarang. Demikian juga airnya jernih, hingga digunakan untuk mandi, mencuci dan wudhu.”

Pada tahun 1937 (16 Juni), ia menghadiri Jambore Kepanduan di Belanda. Naik kapal Dempo milik Belanda, selama 28 hari baru sampai ke Rotterdam. Dia ikut jambore bersama 80 pandu dari Hindia Belanda. Terdiri dari Belanda totok/Indo 30 orang, Ambon 10 orang, Arab 7 orang, dan Bumiputera 30 orang. Wakil pandu Arab memakai stambul warna merah dengan kuncir hitam kopiah sehari-hari orang Mesir. Karena memakai stambul, kita mendapat sambutan dan simpati dari wakil-wakil pandu negara Arab. Uniknya, pihak bumiputera menggunakan lurik dan blangkon. Dalam jambore hadir Lord Baden Powell, bapak pandu internasional.

Pulangnya, Habib Ahnad turun di Port Said, Mesir, dan tidak kembali ke Indonesia. Ketika itu soal visa tidak ada masalah seperti sekarang. Di Kairo ia bersekolah di King Fuad University (kini Cairo Univercity). Tahun 1952, dia melanjutkan petualangannya ke Arab Saudi. Bekerja di perusahaan importir terbesar Saudi, Sharbath, sampai 1956. Pertengahan 1956, ibunya yang sudah lanjut memintanya agar segera kembali ke Indonesia. Sementara ayahnya meninggal dunia tahun 1951.

Setibanya di Indonesia, dia memilih jadi anggota PNI. Karena menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis dan Arab, dia termasuk anggota teras partai yang didirikan Bung Karno ini. Kala itu ketua umum PNI Suwiryo. Ia juga bekerja di RRI siaran bahasa Arab untuk konsumsi Timur Tengah bersama ajengan KH Abdullah Bin Nuh. Di PNI dia kenal baik dengan Ruslan Abdulgani dan Hardi SH. Ketika terjadi perdebatan soal poligami, tokoh PNI Ny Supeni minta pendapat saya untuk dijadikan rujukan sebagai suara PNI. Saya katakan Islam tidak melarang poligami tapi kamu harus berlaku adil. Dan kamu tidak bisa berlaku adil.

Pada tahun 1960-an ia kembali ke Arab Saudi sampai 1967. Kemudian bekerja di televisi Kuwait sampai 1973. Untuk kemudian kembali ke Saudi dan bekerja di National Commercial Bank selama 11 tahun dan pensiun 1987. Diapun jadi warga negara Saudi.

Sekalipun tidak menemui lagi kediamannya di Krukut, Tanah Abang, dan Kwitang, tapi kangennya terhadap tanah kelahiran terobati. Dia dapat merasakan kembali asinan, pete kecap, sambel terasi dan terutama durian. Baik saat sarapan, makan siang dan malam, durian tidak pernah ketinggalan. ”Saya juga kagum pada mojang-mojang Indonesia. Cantik dan lebih luwes dibanding gadis-gadis negara lain,” katanya.

oleh : Alwi Shahab

Polisi Antipungli di Masa Lalu


Foto seorang opas alias banpol (pembantu polisi) di salah satu jalan raya di kawasan elite Jakarta Kota sekitar tahun 1930-an. Sang opas yang mengenakan pedang dipinggang kiri dan pistol di pinggang kanannya mengenakan topi pramuka(pandu) yang dipelitur warna coklat. Topi ini buatan Tangerang, yang ketika itu diekspor ke mancangegara termasuk Eropa. Seragamnya juga bewarna coklat dengan ikat pinggang dari kulit. Dia sedang menjaga ketertiban lalu lintas di prapatan jalan yang tampak masih lengang oleh lalu lintas kendaraan. Maklum ketika itu belum banyak mobil yang nongol.
Berlainan dengan lampu lalu lintas sekarang ini di mana lampu bewarna hijau, kuning dan merah berganti secara otomatis, dulu sampai tahun 1960-an masih manual yakni digerakkan dengan tangan si polisi, yang dalam foto ini terlihat tanda stop. Opas sebagai pembantu polisi ketika itu personilnya kebanyakan penduduk asli. Sedangkan polisi sebagian besar warga Belanda atau Indo.
Opas di samping membantu polisi seperti petugas lalu lintas, juga menolong lansia terutama nenek-nenek yang hendak menyeberang di jalan raya. Jakarta yang kini menjadi kota megapolitan boleh dikata dipenuhi oleh ratusan ribu kendaraan bermotor. Si pengendara roda dua ini lebih banyak tidak memiliki toleransi dan mau berhenti sebentar terhadap nenek-nenek yang hendak menyeberang di jalan raya.
Pernah seorang pengendara marah-marah ketika hampir menyerempet seorang nenek. ”Ngapaian nenek-nenek keluar lebih baik diam di rumah saja,” gerutu pengendara motor. Tidak heran kalau seniman Betawi, SM Ardan (74 tahun) meninggal hanya karena ditabrak motor.
Tidak seperti polisi sekarang, di masa kolonial tidak dikenal istilah pungli. Tidak heran kalau seseorang melakukan pelanggaran lalin dia melakukan cara damai dengan polisi. Dari pada membayar tilang Rp 75 ribu lebih baik uang itu diberikan polisi Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Berapa ratus miliar uang yang harusnya masuk ke kas negara akhirnya mengalir ke kocek-kocek oknum polisi yang tanpa mengenal malu siap untuk berdamai dengan pelanggar lalu.
Tidak mau kalah dengan polisi oknum DLLAJR juga secara terang-terangan mencegat truk-truk pengangkut barang tidak peduli barang kebutuhan pokok. Dalam perjalanan beberapa puluh kilometer, truk-truk barang harus membayar pungli yang tentu saja dijadikan sebagai bagian ongkos produksi. Akibatnya rakyat kecil terpukul karena ikut menanggung kenaikan harga barang. Sejauh ini pungli di jalan raya makin menjadi-jadi tidak ada tindakan hukum terhadap mereka.
oleh : Alwi Shahab

Glodok-Pancoran 1872

Inilah pusat perdagangan dan perekonomian paling bergengsi di Jakarta: Glodok dan Pancoran. Foto ini diabadikan tahun 1872 memperlihatkan adanya sungai atau kanal yang menghubungkan Glodok dan Pancoran.
Pada abad ke-20 kanal di Pancoran ditutup dan kini merupakan bagian dari jalan raya dan pertokoan. Sedangkan jembatan Glodok sebagai penghubung kedua daerah di kawasan China Town dibongkar. Sampai akhir abad ke-19, kanal seperti terlihat di foto menjadi salah satu urat nadi tranportasi seperti terlihat sejumlah perahu yang memuat barang-barang dagangan.
Jembatan Glodok yang sudah menghilang itu letaknya dipersimpangan Pancoran dan Nieuwpoort Straat (kini Jalan Pintu Besar Selatan). Di sebelah kiri foto tampak pertokoan Glodok dan diseberangnya pertokoan Pancoran. Pasar Glodok tampak masih sangat sederhana. Kala itu atap rumah mereka meruncing di bagian atas, meniru rumah di dataran Cina negeri leluhurnya. Kawasan Glodok yang kini gersang karena dipenuhi oleh para pedagang, waktu itu masih rimbun. Dikelilingi oleh pepohonan yang kini sudah tidak dijumpai lagi.
Nama Pancoran karena ditempat ini dulu ada air mancur. Para penduduk siap untuk antri selama beberapa jam untuk mengambil air dari kali Molenvliet (Ciliwung) yang telah disaring terlebih dahulu. Menurut sejarawan Belanda, de Haan banyak para anak kapal saat mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa mengambil air yang telah dijernihkan di sini. Para kelasi juga sangat menyukai arak produksi Batavia yang pada abad ke-17 banyak diusahakan oleh keturunan Cina. Dan di tempat ini pulalah para pelaut setelah berbulan-bulan dalam pelayaran berkesempatan bermain dengan WTS di soehian (istilah Mandarin untuk rumah pelacuran dan hiburan).
Ketika terjadi huru-hara dalam Peristiwa Mei 1998 banyak toko dan rumah di China Town dihancurkan dan dibakar serta barang-barang mereka dijarah. Peristiwa lebih keji terjadi pada Nopember 1740 ketika 10 ribu warga Cina dibantai mulai dari kanak-kanak, wanita hingga kakek-kakek. Karena mereka dianggap ingin memberontak terhadap Belanda. Di masa Bung Karno, Glodok bersama Pasar Baru menjadi tempat penjualan uang dolar secara gelap (black market).
oleh : Alwi Shahab

Nama Batavia Jadi Jakarta

Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang merupakan pesta demokrasi tingkat Jakarta akan berlangsung bulan Juni 2007. Jakarta sejak awal proklamasi (1945) sampai saat ini telah memiliki tiga orang wali kota dan delapan gubernur. Sedangkan pada masa kolonial 1619-1942 tercatat 66 orang gubernur jenderal. Terakhir adalah gubernur jenderal A.W.L. Tjarda van Stankeborg Stachouwer. Setelah tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ditangan Balatentara Jepang, pada 9 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang.

Balatentara Jepang langsung mengeluarkan UU tentang ‘Perobahan Pemerintahan Daerah’. Pulau Jawa dibagi dalam satuan-satuan daerah yang disebut Syuu (keresidenan). Keresidenan dibagi dalam beberapa Ken (kabupaten) dan shi (stadgementer). Yang terakhir ini mengerjakan segala pemerintahan daerah di dalam lingkungan daerahnya. Seperti regent (bupati), wedana, asisten wedana, lurah, kepala kampung atau wijkmeester.

Begitu menaklukkan Belanda, Jepang merubah nama Batavia dengan Jakarta. Pada masa Jepang ini dibentuk RT-RW yang berlangsung hingga kini. Nama-nama jalan dan gedung dari nama Belanda diganti dengan nama Jepang. Sejumlah patung tokoh Belanda ditumbangkan. Seperti patung pendiri Batavia J.P.Coen di halaman Departemen Keuangan sekarang.

Mula-mula rakyat Indonesia menyambut baik kedatangan balatentara Jepang. Mereka menjanjikan kemerdekaan dan menggembleng rakyat Indonesia untuk membantu balatentara Jepang yang tengah berperang dengan Sekutu (AS dan Inggris). Hingga kala itu ada semboyan ‘Amerika kita strika’ ‘Inggris kita linggis’. Tapi kehidupan rakyat sangat terpuruk dan kelaparan terjadi di mana-mana.

Dalam foto terlihat suasana memperingati genap setahun perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942 di Lapangan Gambir (kini Monas). Rapat umum yang dihadiri puluhan ribu warga Jakarta ini dihadiri oleh para pembesar Jepang. Termasuk Jenderal Okazaki, Panglima AD Jepang di Jawa yang membacakan sambutan ‘Tenno Heika’ (kaisar Jepang). Ir Sukarno, yang menjadi Ketua Kehormatan Rapat Umum tersebut, seperti disebutkan majalah ‘Djawa Baroe’ terbitan pendudukan Jepang menyatakan bulatnya semangat rakyat menyokong membangunkan masyarakat baru.

Di foto terlihat bendera Jepang siap untuk dikibarkan dihadapan sekitar 30 ribu warga Jakarta yang mendatangi Lapangan Gambir (Monas). Dewasa ini pemerintah Jepang menghadapi tuntutan agar meminta maaf terhadap kekejamannya menjadikan wanita-wanita di kedua negara sebagai budak seks tentara pendudukan Jepang. Indonesia sendiri yang selama 3,5 tahun dijajah Jepang juga menghadapi kekejaman yang sama. Beberapa tahun lalu pernah wanita-wanita Indonesia yang menjadi korban seks tentara Jepang menuntut ganti rugi.

oleh : Alwi Shahab

Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Setelah dilakukan penelitian, penyebutan nama tempat dan nama kampung yang ada di Jakarta tidak sekadar asal nama. Hampir semua nama tempay dan kampung yang dikaji ternyata mempunyai riwayat sendiri-sendiri, seperti peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Ada juga nama kampung atau tempat yang dikaitkan dengan vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang banyak ditemukan. Juga ada nama tempat atau kampung yang dikaitkan dengan seorang tokoh yang pernah tinggal di tempat itu.

Baiklah kita mulai dengan kawasan Ancol di Jakarta Utara, yang kini menjadi tempat rekreasi paling terkenal di tanah air. Ancol mengandung arti tanah rendah berpaya-paya. Dahulu, bila laut sedang pasang, air payau kali Ancol berbalik ke darat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah bila Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut Zoutelande (tanah asin). Sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada 1656.

Dari Ancol kita ke Angke, Jakarta Barat. Di sini kita menemukan masjid tua yang berusia hampir 300 tahun (dibangun pada 1714), yakni Masjid Al-Anwar. Kata Angke berasal dari bahasa Cina, ang, yang berarti darah, dan ke, yang artinya bangkai. Nama ini terkait peristiwa sejarah tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang Cina di Batavia. Ribuan warga Cina yang dibantai Belanda mayatnya dihanyutkan ke kali, yang kemudian menjadi kali dan kampung Angke. Sebelumnya, kampung itu bernama Kampung Bebek. Karena, orang Cina yang tinggal di situ senang beternak bebek.

Sekarang kampung Gambir tinggal kenangan saja. Yang ada nama kelurahan dan stasioon Gambir. Kata Gambir sudah dikenal sejak Gubernur Jenderal Daendels mulai membuka daerah itu pada 1810. Kata ini mengacu pada sebutan masyarakat setempat yang melihat banyaknya pohon gambir yang tumbuh di kawasan tersebut. Sebelum dikembangkan oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda yang dinamakan Weltevreden, kawasan itu masih merupakan daerah rawa-rawa dan padang ilalang. Pada abad ke-17 oleh pemiliknya, Anthony Paviljoen, daerah itu disewakan pada masyarakat Cina sebagai lahan pertanian tebu, sayur-sayuran dan persawahan.

Di daerah yang kini dikenal sebagai Lapangan Monas pernah tiap tahun diselenggarakan Pasar Gambir untuk memperingati HUT Ratu Wilhelmina, nenek Ratu Beatrix sekarang ini. Keramaian itu, kemudian, oleh Gubernur Ali Sadikin dilanjutkan dengan Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta) guna memperingati HUT Kota Jakarta.

Tidak jauh dari Gambir terdapat kampung Gondangdia yang kini berada di daerah pemukiman elit Menteng, Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal di kalangan masyarakat awam di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi: Cikini si gondangdia, saya disini karena dia.

Ada beberapa versi nama kampung Gondangdia. Berasal dari nama pohon gondang (sejenis pohon beringin). Berasal dari nama binatang air sejenis keong gondang, yang artinya keong besar. Juga berasal dari nama seorang kakek yang terkenal dan disegani masyarakat sekitar kampung. Kakek ini punya nama kondang dan sering dipanggil ‘kyai kondang’. Nama tempat itu pun disebut gondangdia (kakek yang tersohor).

Dari Jakarta Pusat kita ke Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Di sini terdapat kawasan Kebantenan, karena sejak 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman orang-oroang Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Agung Tirtayasa. Tentang keberadaan orang Bantgen di kawasan tersebut, kisahnya dimulai, setelah Sultan Haji mendapatkan bantuan Kompeni. Akibatnya Sultan Agung Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi-abdinya yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa menyerahkan diri: Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati). Di Batavia awalnya mereka ditempatkan di dalam lingkungan benteng. Kemudian, Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi-abdinya diberi pemukiman di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citreureup, Ciluwer, dan Cikalong.

Selain Kebantenan di Jakarta Utara, ada pula Kebantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah baratdaya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada di baratdaya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan sejarah Jawa Barat.

Dari Kebantenan Jakarta Utara, kita menuju ke Kampung Ambon di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak 1619. Pada waktu itu Gubernur Jenderal JP Coen menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen kemudian ditempatkan di Batavia, yang kini menjadi Kampung Ambon.

Pada awal berdirinya VOC, Belanda menempatkan masyarakat untuk tinggal di kampung-kampung dengan nama etnis mereka. Karena itu, di Jakarta banyak nama tempat mengacu pada etnis, seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Banda(n), Kampung Bugis, dan Kampung Makassar. Di masing-masing kampung itu Belanda menempatkan kapiten, yang dipilih dari tokoh masyarakat yang disegani dari tiap etnis.

oleh : Alwi Shahab

‘Perang Salib’ di Selat Malaka

Kini makin marak pagelaran Jakarta tempo doeloe. Yang menggembirakan adalah semakin banyak masyarakat yang ingin mengetahui sejarah kota Jakarta yang sudah berusia hampir lima abad. Sayangnya, sejauh ini lebih banyak ditampilkan sejarah saat-saat penjajahan Belanda. Bahkan di Museum Sejarah DKI Jakarta sendiri hampir tidak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah di masa Sunda Kalapa, Jayakarta, maupun Portugis. Padahal penjajahan di Indonesia diawali dengan kedatangan orang-orang Portugis pada abad ke-15.

Sebelum tiba di Indonesia, Portugis telah terlibat perangdengan orang Islam di Spanyol dan Timur Tengah (Perang Salib). Tidak heran dalam suasana demikian, mereka tiba di Nusantara dengan rasa benci terhadap Islam. Kala itu, Sunda Kalapa berada di bawah kekuasaan Pajajaran yang beragama Hindu/Budha. Pajajaran yang juga tidak senang terhadap pengaruh Islam, akhirnya melakukan kerja sama dengan Portugis, sebelum negara di Eropa Selatan ini diusir dari Teluk Jakarta oleh Falatehan pada Juni 1527. Kala itu, Portugis pada 1511 telah menaklukkan Malaka. Kala itu, pusat perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Indonesia berlangsung di Selat Malaka. Sebagian besar diangkut oleh para pedagang Arab ke pelabuhan-pelabuhan di Laut Merah.

Dengan alasan mengambil alih monopoli para pedagang Arab, Portugis menaklukkan Malaka. Ketika menduduki Malaka, Portugis mengerahkan kekuatan 1200 prajurit dan 18 buah kapal. Sebelumnya terlebih dulu menaklukkan Goa di India. Mengapa Goa begitu mudah ditaklukkan? Itu akibat perjanjian persahabatan antara Kerajaan Hindu setempat dengan Portugis, untuk menghadapi Islam yang dianggap sebagai musuh bersama.

Bagaimana eratnya motif dagang dan agama dikemukakan oleh d’ Albuquerque — panglima Portugis ketika memberikan pengarahan kepada anak buahnya, ”….. jasa yang akan kita berikan kepada Tuhan kita dengan mengusir orang Moor (Islam-Arab) keluar dari negeri ini adalah memandulkan agama Mohamed sehingga api itu tak akan pernah menyebar lagi sesudah itu.” (Mr Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia).

Sementara itu, ketika Portugis menaklukkan Malaka, Islam sudah menyebar di kepulauan Nusantara. Karenanya, ketika Portugis melakukan kerja sama dengan Pajajaran dengan membangun loji (benteng) di Sunda Kalapa, para tokoh Islam merasa tersinggung. Dalam suatu pertemuan di Cirebon, para walisongo sepakat untuk menghukum Pajajaran dan Portugis. Tugas diserahkan kepada Pati Unus yang kemudian menunjuk Fatahillah Khan sebagai panglima perang. Setelah mengusir Portugis dan menaklukkan Pajajaran (1527), berakhirlah kerajaan Hindu di Nusantara.

Kita kembali dulu ke saat-saat perjanjian kerja sama pertahanan Portugis-Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (Bogor). Untuk mencapai ibukota Pajajaran ini, ekspedisi Portugis menempuh jalur sungai (Ciliwung) selama dua hari dua malam. Tapi pihak Portugis ingin datang ke pusat rempah-rempah, di Indonesia bagian Timur. Maka berlayarlah ekspedisi Portugis terdiri dari tiga kapal menuju kepulauan Maluku. Salah satu kapalnya (El Sabaya) tenggelam di Pulau Sakudi di dekat Madura.

Menurut sejarawan dan pimpinan Lembaga Persahabatan Indonesia-Portugal, Rushdy Hoesein, kini ada upaya-upaya untuk mengadakan penelitian dan mengangkat kembali kapal abad ke-16 yang tenggelam itu. Menurutnya, ketika tenggelam kapal itu membawa berbagai barang hadiah untuk para sultan di Indonesia bagian Timur. Dua kapal lainnya berhasil sampai ke Indonesia Timur. Kala itu rempah-rempah merupakan komoditi penting di Eropa untuk mengawetkan daging dan melawan hawa daging. Portugis mendapatkan jalan ke jalur pusat rempah-rempah dari seorang pedagang Romawi yang mereka tangkap di Malaka.

Jalur pelayaran rempah-rempah tersebut dirahasiakan Portugis. Tapi rahasia itu dibocorkan oleh Heaygen van Linschaten, seorang warga Belanda yang menjadi pegawai di kapal Portugis. Ketika Malaka ditaklukkan Portugis dengan motif dagang dan agama pada ab ad ke-16 perang salib di Timur Tengah masih berlangsung, dan di daerah itu pada akhirnya orang Kristen menderita kekalahan yang menentukan. Rupanya semangat perang salib juga berpengaruh di Nusantara.

Terlihat dari tiga kali ekspedisi pasukan-pasukan Islam dari Tanah Jawa (Jepara dan Demak) serta Sumatera (Aceh) menyerang Malaka. Diantaranya dipimpin oleh Pati Unus sendiri. Sekalipun gagal dalam mengusir Portugis dari Malaka karena persenjataan yang tak seimbang, tapi semangat jihad mereka untuk mengusir penjajah patut diacungi jempol.

Menurut Mr Hamid Algadri, penyebaran Islam di kepulauan Indonesia yang begitu cepat sering dipertanyakan setelah Majapahit jatuh dan Demak berdiri. Jawabannya adalah: Agama Islam telah tersebar lama di Pulau Jawa sejak masa Kerajaan Hindu Majapahit. Jauh sebelum orang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis, memasuki kepulauan Indonesia.

Dari tulisan peneliti sejarah Barat dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang Arab sudah mencapai Indonesia sebelum Islam. Sesudah Islam hubungan terus berlangsung. Hubungan itu demikian eratnya sehingga banyak kerajaan di pantai Jawa didirikan oleh orang keturunan Arab. Dan, mereka memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam.

oleh : Alwi Shahab

Cobra Jinakkan Preman

Di Jakarta dan berbagai daerah kini bermunculan spanduk-spanduk dengan huruf besar, Rakyat Menolak Premanisme. Spanduk-spanduk itu menunjukkan kebencian rakyat terhadap preman, bahkan mereka dianjurkan untuk melawan, sekalipun kenyataannya kejahatan para preman makin mengganas.

Meskipun ratusan di antara mereka telah didor, preman terus ada. Kapolri Jenderal Pol Sutanto juga memiliki target untuk memerangi dan memberantas preman, tapi berbagai tindak kejahatan terus terjadi. Akibat keadaan Jakarta yang tidak aman, banyak investor yang menghentikan niatnya untuk menanamkan modal di sini.

Melihat premanisme yang sudah makin menakutkan, saya teringat pada satuan Cobra pada tahun 1950-an dan awal 1960-an. Pimpinan organiasi ini adalah putra kelahiran Bangka, Kemang, Jakarta Selatan. Dia seorang militer. Ketika membentuk Cobra ia berpangkat Kapten dan anggota KMKBDR (Komando Markas Kota Besar Dajakarta Raya). Ia dibesarkan di daerah Senen, Jakarta Pusat. Sampai akhir hayatnya (meninggal 9 September 1982 dalam usia 59 tahun), ia lebih dikenal dengan sebutan Kapten Syafi’ie sekalipun kala itu sudah berpangkat Letkol.

Tapi, sebelum kita menguraikan keberhasilan Cobra dalam memberantas preman, sebaiknya kita mendatangi kawasan Kampung Melayu Kecil dekat majelis taklim dan perguruan At-Thahiriyah. Sampai tahun 1970-an, di sini terdapat Gang Alhadad, namun kini sudah berganti nama. Nama ini mengacu pada nama tokoh masyarakat Sayyid Muhammad Alhadad.

Keturunan Arab dari Hadramaut itu memiliki kemampuan ilmu silat. Lalu kepandaiannya itu diturunkan pada putranya, Sayyid Abdulkadir Alhadad. Orang lebih banyak memanggilnya Mi Kadir. Menurut cucunya, Umar Alhadad (64), diantara para murid kakeknya terdapat Imam Syafi’ie atau Bang Pi’ie.

Beberapa jagoan Betawi seperti H Dahrif dari Klender, Bekasi, KH Mohd Nur dari Pondok Rangon, Bekasi, termasuk murid Sayyid Kadir. Menurut tokoh Betawi, H Irwan Sjafiie (77), yang pernah dekat dengan Imam Syafi’ie, selain ahli main pukulan, Mi Kadir juga memiliki bermacam ilmu, dan tentu saja ilmu agama. Di kediamannya di Jatinegara, kata H Irwan, dia menyediakan kamar khusus bagi muridnya, Imam Syafi’ie.

Begitu berwibawa dan kharismatiknya Sayid Abdulkadir Alhadad ini, hingga bila ada keributan antar-jagoan, dia cukup mengirimkan utusannya dan menyampaikan salamnya. Dan, hanya dengan menyebut namanya, keributan sudah berakhir. Sayyid Abdulkadir lahir di Jatinegara tahun 1896 dan meninggal dalam usia 62 tahun. Ketika almarhum sakit hingga wafatnya, Letkol Syafi’ie, yang kala itu tengah menempuh pendidikan di SESKOAD Bandung, tiap Sabtu dan Minggu mendatanginya. Termasuk membantu ongkos pengobatannya.

Baiklah kita kembali ke organasasi keamanan Cobra. Ada kisah tersendiri dia menamakan demikian. Pada pertengahan 1950-an di bioskop REX Senen (kini pertokoan) tengah diputar film Darna. Film Pilipina yang jadi box office di Jakarta itu banyak menampilkan ular cobra. ”Kebetulan kala itu Bapak juga ikut dalam orkes melayu yang bernama Cobra,” tutur Asmawi Syafi’ie (62), putra Imam Syafi’ie, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Anggota Cobra banyak dari kalangan pejuang kemerdekaan yang pada masa revolusi fisik menjadi anak buahnya. Sayangnya, setelah kemerdekaan banyak di antara pejuang itu yang tidak mendapat tempat di militer. Agar jangan sampai mereka ‘salah jalan’ oleh Bang Pi’ie mereka dikumpulkan dalam Cobra.

Cobra melakukan disiplin yang sangat keras terhadap para anggotanya. Menurut Asmawi, anggota yang menyeleweng seperti melakukan kejahatan akan ditindak tegas. Tapi, terlebih dulu ditanyakan kepadanya alasan perbuatannya. Jika alasannya tidak punya pekerjaan dan modal, maka Bang Pi’ie memberinya modal. Tapi, jika setelah mendapatkan bantuan orang bersangkutan kembali melakukan kejahatan, tidak akan diberi ampun.

”Biasanya bapak memukulnya dengan buntut ikan pari yang berduri tajam dan bergerigi. Hukuman itu lebih baik dibandingkan kalau ayah memukul dengan tangan. Apalagi tangan kirinya yang menyimpan pukulan maut. Tidak peduli orang sekuat apapun, dia tidak akan tahan menghadapi pukulan tangan kiri bapak,” ujar putranya.

Menurut Haji Irwan, yang pernah dekat dengan almarhum, sukses Cobra dalam membantu menciptakan keamanan di Jakarta tidak lepas dari pendekatan Bang Pi’ie. Termasuk kedekatannya dengan ulama, yang di Betawi kala itu merupakan tokoh yang dihormati. ”Saat itu banyak toko dan tempat hiburan di Jakarta yang menempatkan foto Imam Syafi’ie. Biasanya diletakkan dekat meja kasir,” ujar Asnawi.

Menurut Irwan, adanya foto jago Betawi itu biasanya merupakan jaminan bahwa tidak ada yang berani mengganggu tempat tersebut. Para preman Jakarta kala itu benar-benar dikendalikan dan hampir-hampir dibuat tidak berkutik oleh Cobra. Sebagai contoh, seorang yang kehilangan atau kecopetan di suatu tempat, ia dapat mengadukan kepada tokoh masyarakat setempat. Biasanya barang yang dicuri atau dicopet itu bisa ditemukan dalam beberapa hari. Dalam mengamankan Jakarta, Imam Syafi’ie berpegang pada prinsip, ”Cari makan di Jakarta silahkan. Tapi kalau ganggu gue jangan macam-macam.”

Imam Syafi’ie, dalam mengamankan Jakarta, mendapatkan bantuan dari dua orang tangan kanannya, Ahmad (Mad) Bendot dan Saumin, Keduanya juga sangat ditakuti. Mengingat jasa-jasanya semasa revolusi dan mengamankan Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pernah mengusulkan agar nama salah satu jalan di kawasan Senen mengabadikan nama Imam Syafi’ie.

oleh : Alwi Shahab

Melacak Nama-nama Kampung

akarta yang telah berusia lima abad memiliki ratusan nama tempat dan kampung. Berdasarkan kajian arsip, wawancara dengan tokoh masyarakat dan narasumber ternyata penyebutan nama tempat dan kampung itu tidak hanya sekedar nama. Tapi punya riwayat sendiri-sendiri, yang usianya juga sudah ratusan tahun. Seperti nama tempat yang memakai kata ‘bukit’. Misalnya Bukit Duri, Bukit Duri Tanjakan, dan Tanah Abang Bukit. Namun, sekarang bekas bukit-bukit itu sudah tak terlihat lagi. Hanya saja, kalau kita bersepeda terasa jalannya menanjak.

Di Jakarta yang berpenduduk lebih 10 juta jiwa juga banyak tempat yang berawal dari kata bulak. Misalnya saja Bulak Rante di Jakarta Timur. Di Jatiwaringin ada Bulak Cabe dan Bulak Sempir. Bulak Temu di Teluk Pucung, Bekasi. Lalu apa arti bulak? Bulak adalah tanah kebun yang dikelilingi sumber air. Maklum di zaman baheula Jakarta juga banyak memiliki resapan air. Kini sumber-sumber air itu sudah ‘almarhum’. Bahkan puluhan situ atau rawa juga hilang akibat ‘kejahilan’manusia. Banyak sekali nama yang dimulai kata rawa.

Sekarang ini Kebayoran Baru merupakan kawasan elit. Kemacetan terjadi hampir di semua jalan. Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Kebayoran berasal dari kata kabayuran. Artinya tempat penimbunan kayu bayur, yang sangat baik dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap. Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun di kawasan itu pada jaman dulu. Tapi juga berbagai jenis kayu lainnya. Kayu-kaayu gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya dianbgkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan cara dihanyutkan. Maklum kedua sungai itu di masa lalu cukup lebar dan dalam.

Sekitar tahun 1938 di kawasan Kebayoran sempat direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional, namun batal karena pecah perang dunia kedua (1942-1945). Dan di tempat yang akan dibangun bandara internasional itu lantas dibangun kota satelit Kebayoran Baru (1949). Kala itu arealnya hanya seluas 730 ha yang menurut rencana hanya akan dihuni 100 ribu jiwa. Sekarang ini, dari sekitar 10 juta penduduk Jakarta, beberapa juta tinggal di Kebayoran. Hanya setahun setelah kota satelit dibangun, HAMKA, ulama yang dekat dengan rakyat kecil, membangun Masjid Al-Azhar. Masjid terbesar di Jakarta kala itu sebelum dibangun Istiqlal (Kemerdekaan).

Pengarang FDJ Pangemanann di bukunya menyebutkan bahwa pada abad ke-19 Kebayoran masih berupa hutan belukar. Belum terdapat desa-desa. Hingga Kebayoran dijadikan sebagai tempat pelarian para perampok dan penjahat dari kejaran Kompeni. Menurut Pangemanann, suatu tempat yang bernama Bukit Kebayoran, dijadikan tempat pelarian para penjahat.

Dari Kebayoran kalau kita menuju Tanah Abang melewati Karet Tengsin. Kampung ini sekarang sudah hilang akibat modernisasi kota megapolitan. Nama ini berasal dari nama seorang Cina, Tan Teng Sien. Karena baik hati dan banyak memberi bantuan pada masyarakat, maka Ten Sien cepat dikenal. Di daerahnya ketika itu banyak tumbuh pohon karet. Dan, dinamakan Kampung Karet Tengsin.

Di Karet Tengsin sampai 1960-an banyak berdiri industri batik. Ribuan orang yang terlibat di sekitarnya mendapat tambahan penghasilan sebagai pembatik. Terutama, warga dari daerah Senayan, sebelum dijadikan Gelanggang Olahraga Bung Karno (1962).

Dari Karet Tengsin kita melompat agak jauh ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat, yang dibangun awal abad ke-19 sebagai garis pertahanan Van den Bosch. Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dahulu merupakan kebun sirih. Sampai awal 1960-an, sirih sangat digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah. Istilahnya makan sirih. Kelengkapannya antara lain adalah kapur (sirih), pinang dan gambir.

Dulu, para nyonya kelas atas umumnya menggemari makan sirih. Karena itu, kalau mereka bepergian disertai empat atau lima orang budaknya yang khusus menyediakan tempat sirih, tempolong (tempat meludah sirih), dan budak yang memayunginya.

Karena kesejukannya, pada pertengahan abad ke-19, Kebon Sirih oleh Belanda dijuluki de nieuwe weg achter het Koningspllein. Atau alam baru di belakang Istana Raja (kini Istana Merdeka). Kemudian, karena di sana tinggal seorang hartawan yang dermawan bernama KF Holle, maka di dekat Kebon Sirih yang kini bernama Jl Sabang disebut Laan Holle.

Sekarang kita makin melompat ke kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sampai 1950-an, kami dari Jakarta Pusat menyebutnya sebagai tempat ‘jin buang anak’ karena saking terpencilnya. Nama kawasan tersebut diambil dari kontur tanah dan fauna. Lebak berarti ‘lembah’, dan bulus adalah ‘kura-kura yang hidup di darat dan air tawar’. Jadi dapat disamakan dengan ‘lembah kura-kura’.

Dari Lebak Bulus kita menuju ke Petamburan, Jakarta Pusat. Pada masa lalu, ketika rumah penduduk masih jarang, banyak ditumbuhi pohon jati. Suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadi cikal bakal nama tempat ini. Yakni, meninggalnya seorang penaruh tambur daerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga jadilah Jati Petambutan.

Pada awal abad ke-20 perusahaan pelayanan KPM yang memiliki ratusan armada kapal untuk domestik dan mancanegara membangun sebuah rumah sakit di sini. Karena pada 1950-an KPM dinasionalisasi menjadi Pelni, kini rumah sakit itu terkenal dengan RS Pelni.

oleh : Alwi Shahab

Panser NICA Mencari Pejuang


Hanya lebih sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, tentara sekutu yang dipimpin balatentara Inggris tiba di pelabuhan Tanjung Priok dengan membawa senjata berat. Bersama Sekutu, ikut membonceng pasukan Belanda (NICA = Netherlands Indies Civil Administration) yang ingin berkuasa kembali dibekas jajahannya. Dalam foto, terlihat saat pasukan NICA dengan menggunakan panser memasuki salah satu kampung di Jakarta. Mereka mencari pejuang-pejuang yang pada masa revolusi fisik (1945-1949) bertekad ‘siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan’. Terlihat bagaimana sunyinya jalan raya yang hanya anak-anak kecil dan para ibu yang berdiri di halaman rumah mereka.
Pendaratan tentara Sekutu di Jakarta menimbulkan berbagai perlawanan. Hingga terjadilah kekacauan-kekacauan di berbagai tempat. Tentara NICA mengacau jalanan ibu kota dan tanpa pilih bulu menembaki rakyat, khususnya para pejuang yang mati-matian mempertahankan kemerdekaan. Tidak hanya di kampung-kampung, pasukan NICA juga menggarong para penumpang kereta api termasuk orang tua. Saya masih ingat situasi akhir 1945 ketika di kampung-kampung para pemuda dengan senjata bambu runcing bersiap melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk menghindari masuknya pasukan Belanda, jalan masuk di kampung-kampung dipasang barikade kawat berduri. Sementara itu, wanita khususnya para gadis menyiapkan dapur umum untuk para pejuang. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, banyak para pejuang yang mati dalam perjuangan melawan Belanda. Karena menuju ke pemakaman di Karet, Tanah Abang, tidak aman, para pejuang ini dimakamkan di belakang masjid Kwitang. Baru setelah penyerahan kedaulatan, mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Karena Belanda (NICA) kewalahan menghadapi perlawanan, di sejumlah kampung NICA membakar rumah penduduk dan memuntahkan peluru tommygun -nya kepada orang-orang, yang mencoba untuk memadamkan api. Ketika itu, banyak pemuda diculik NICA dan dibawa ke Markas Polisi di Hopbiro, yang kala itu letaknya di Monas (depan Departemen Hankam).
Catatan dalam arsip, seperti dikemukakan Presiden Soekarno, menunjukkan di Kota Jakarta saja antara September dan Desember 1945 sekitar 8.000 rakyat tewas. Presiden Soekarno seperti dituturkannya kepada pengarang AS Cindy Adams menyatakan, ”Salah satu alasan kenapa aku tidak senang kepada Inggris ialah karena seluruh teror yang dilakukan secara berencana, dikerjakan di bawah pelupuk mata Inggris, sedangkan mereka (Inggris) bertanggung jawab atas terjaminnya ‘hukum dan ketertiban’ di kepulauan kami.”
Perjuangan rakyat di Tanah Air mempertahankan kemerdekaan melahirkan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, yang kemudian menjadi cikal bakal Angkatan Bersenjata RI (ABRI).
oleh : Alwi Shahab

Kamp Konsentrasi Jepang

Pada bulan Maret 1942 Jepang mendarat di Indonesia tanpa perlawanan Belanda. Padahal, sebelumnya Belanda berikrar akan mempertahankan negeri jajahannya sampai tetes darah penghabisan.

Kedatangan balatentara Dai Nippon, yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, disambut meriah oleh rakyat di mana-mana. Di setiap jalanan Ibukota yang dilalui, pasukan Jepang yang datang bersepeda dari Banten, disambut sorak-sorai kemenangan.

Presiden Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat menulis, faktor pertama yang menyebabkan penyambutan spontan itu adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan-tuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Tidak heran kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka.

Bung Karno sendiri, pada masa pendudukan Jepang, duduk sebagai Ketua POETERA (Poesat Tenaga Rakyat). Hingga, selama revolusi fisik ia dituduh terutama oleh NICA sebagai kolabolator.

Kalau rakyat menyambut kedatangan Jepang meskipun kemudian keadaannya lebih sulit dari zaman penjajahan Belanda sebaliknya sebagian besar warga Belanda dan Eropa lainnya harus meringkuk sebagai tawanan perang dalam kamp-kamp. Tidak hanya tentara, juga wanita dan anak-anak, menjalani kehidupan sangat buruk selama hampir tiga setengah tahun.

Di Jakarta terdapat belasan kamp tawanan perang. Menurut buku Recalling the Indies, di seluruh Indonesia terdapat sekitar 100 ribu tawanan perang warga negara Eropa yang ditawan pihak Jepang. Menjelang Perang Dunia II, keadaan ekonomni Hindia Belanda sedang baik-baiknya dengan masuknya pemilik modal dari Eropa dan Amerika Serikat. Untuk menampung melonjaknya kedatangan warga Eropa ke Batavia, pemerrintah Hindia Belanda membangun kompleks perumahan mewah di Menteng, Jakarta Pusat.

Kembali kepada nasib warga Belanda yang menjadi tawanan Jepang, Nyonya VP dari Malang menceritakan dalam Recalling the Indies bahwa banyak gadis muda yang diambil untuk dijadikan pelacur, bekerja di restoran-restoran, untuk melayani para militer Jepang. Tepatnya, mereka dijadikan sebagai jugun ianfu (perempuan yang dijadikan budak seks tentara Jepang).

Di Sluisweg (kini Matraman) ketika itu terdapat kantor Bea Cukai. Di gedung ini oleh Jepang dibangun barak-barak sebagai tempat tawanan Belanda. Dari Juni 1942 sampai Juni 1944 sekitar 3000 laki-laki Belanda ditampung di sini untuk dikirim ke Bandung.

Sejak akhir September 1944 sampai Oktober 1945 tempat itu telah menjadi tempat tahanan wanita dan anak-anak. Misi sekutu yang datang ke Batavia setelah Jepang menyerah, menemukan 1900 wanita dan anak-anak yang di-internier (ditawan) Jepang.

Di Bukit Duri (Jatinegara), yang ketika itu merupakan lembaga pemasyarakatan wanita, dijejal oleh tawanan-tawanan pria, baik militer maupun sipil. Di Jaga Monyet (kini Jl Suryo Pranoto), yang sebelumnya menjadi markas batalion kavaleri KNIL, dijadikan sebagai kamp tawanan perang bagi tentara Sekutu oleh Jepang. Tapi, setelah akhir 1945, Belanda berkuasa kembali di Jakarta, dan kamp itu dijadikan sebagai tempat tawanan tentara Jepang.

Penjara Glodok (kini pertokoan Harco), merupakan kamp tawanan pertama bagi warga Eropa di Jakarta, hanya sehari setelah Jepang menaklukkan Ibukota. Mereka yang ditawan di sini terdiri dari pegawai negeri, polisi, dan staf pamong praja yang jumlahnya mencapai 400 orang.

Sejak akhir Maret 1942 sampai Pebruari 1944 di Glodok dipenjara sekitar 1200-1500 tentara Inggris dan Australia. Di antara mereka juga terdapat orang-orang Belanda yang bekerja di Bandara Kemayoran. Dari Januari hingga Agustus 1945 di penjara Glodok ditawan anak-anak dan para pemuda Indo-Belanda sebanyak 650 orang. Mereka ditawan dalam keadaan menyedihkan.

RS Jiwa Grogol, Jakarta Barat, antara Juli 1943 sampai Agustus 1944, menjadi tempat tawanan wanita dan anak-anak Belanda. Mereka dicampurkan dengan penderita sakit jiwa. Sekitar 1200 orang ditampung di tempat ini.

Di kamp pengungsi Koja, Tanjung Priok, mendekam 800 tahanan Inggris yang didatangkan dari Bandung. Di Kampung Makassar (Jakarta Timur), perkebunan kelapa disulap oleh Jepang telah disulap menjadi kamp tawanan perang. Antara Mei 1943 sampai Januari 1945 tempat itu menjadi tawanan perang sekitar dua ribu tentara, termasuk militer Australia.

Kemudian kamp itu dijadikan kamp kerja untuk sekitar tiga ribu wanita dan anak-anak yang dipindahkan dari Cideng (Jakarta), Bogor, dan Bandung. Tugas mereka adalah menanam sayuran untuk mensuplai makanan bagi para tawanan yang ditempatkan di Jakarta. Di samping itu mereka juga ditugaskan untuk memelihara babi (peternakan). Sekitar enam ribu ekor babi diternakkan di kamp tawanan perang Jepang ini.

Sebuah sekolah Tionghoa di Petekoan, Glodok, Jakarta Barat, juga digunakan sebagai kamp tawanan perang untuk sekitar seribu militer dan sipil. Mereka yang terakhir ditempatkan di situ adalah para pekerja paksa dari Timor, dan orang-orang pribumi yang berasal dari kapal yang terkena torpedo (kapal Prancis), yakni orang-orang Vietnam dan Indo Cina. Di antara tawanan perang itu adalah para anggota AU Inggris dan Australia, serta pasukan Gurkha dari Serawak dan Malaka.

oleh : Alwi Shahab

Istana Callenberg di Cikini



Callenberg di Jerman tentu saja jaraknya ribuan kilometer dari Jakarta. Terletak di atas sebuah bukit di dekat Coburg, istana yang bernama Callenberg itu dapat kita saksikan bila berkunjung ke Rumah Sakit Dewan Gereja Indonesia (DGI) di Cikini, Jakarta Pusat. Tidak pelak lagi, bahwa gedung pimpinan RS Cikini itu adalah satu bangunan tiruan dari satu istana kecil di Callenberg (Jerman). Istana ini merupakan tempat peristirahatan yang paling disenangi oleh para adipati dari Sachsen-Cobutha-Gortha. Tapi mengapa tiruannya dibangun di Jakarta?
Kunci jawaban atas pertanyaan itu adalah riwayat kehidupan pelukis modern asal Jawa yang pertama, seorang turunan dari keluarga bangsawan Jawa Tengah: Raden Saleh Syarif Bustaman. Pelukis yang lukisan-lukisannya banyak menjadi koleksi Istana karena digemari Bung Karno, hidup antara 1811-1880. Dia dimakamkan di Bogor di Jl Pahlawan. Atas perintah Bung Karno-lah tempat meninggalnya dipugar.
Pelukis kelahiran Semarang ini, adalah saudara misan Habib Abdurahman Alhabsyi, ayah Habib Ali Alhabsyi, pendiri majelis taklim Kwitang 80 tahun lalu. Setelah belajar selama 10 tahun di Belanda, Raden Saleh kemudian ke Jerman dan di negara ini ia tertarik dengan Istana Callenberg. Maka sekembalinya di Indonesia, di tanahnya yang luas di Cikini termasuk TIM dan SMP II Cikini serta masjid Cikini dia pun membangun kediamannya meniru Istana Callenberg. Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh telah membangun kebun binatang Cikini, di kediamannya yang luas itu.
Di Jerman, negara yang tidak mempunyai jajahan, dia tidak diperlakukan sebagai budak melainkan sederajat dengan orang sesama, suatu yang tidak mungkin terjadi di Hindia Belanda yang melakukan politik rasialis. Ketika kembali ke Batavia, Raden Saleh tidak masuk ke dalam dinas penguasa kolonial Belanda, salah satu syarat ketika ia mendapat beasiswa pendidikan di Eropa.
Beberapa karya terbaik Raden Saleh sekarang berada dalam koleksi seni istana kepresidenan. Menunjukkan kekaguman Bung Karno terhadap pelukis dari keluarga Bin Yahya. Di antaranya yang menonjol adalah ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang ia selesaikan tahun 1858.
Bertentangan dengan pelukis-pelukis Belanda yang melukis akhir dari penguasa kolonial yang berbahaya ini dari sudut pandang Belanda. Raden Saleh menunjukkan Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan dari Kesultanan Mataram sebagai pemenang bermoral. Pangeran yang mengenakan jubah dan sorban, dengan tasbih terlihat menonjol di sabuknya, berjalan ke tahanannya di Magelang dengan muka menantang perwira Belanda yang menipunya dengan kedok mengajak berunding. Itu adalah suatu karya lukis yang revolusioner dan antikolonial yang baru dibawa Belanda kembali ke Jakarta setelah kemerdekaan.
Kediaman Raden Saleh ini kemudian dibeli oleh sahabatnya: Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, yang memiliki sebuah rumah besar dan mewah yang kini menjadi museum tekstil di Jati Petamburan, Jakarta Pusat. Kemudian kediaman Raden Saleh ini dijual oleh Sayid Abdullah kepada Yayasan Emma, sebuah organisasi sosial Belanda. Tapi menjelang kemerdekaan rumah sakit ini oleh Belanda diserahkan kepada Dewan Gereja Indonesia (DGI).
oleh : Alwi Shahab